Mohon tunggu...
Muhammad Daffa Alfandy
Muhammad Daffa Alfandy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang fokus pada konsentrasi hukum ekonomi dan bisnis, politik, dan filsafat. Penulis aktif mengikuti sejumlah kompetisi akademik, mulai dari kepenulisan karya tulis ilmiah, esai ilmiah, debat hukum, dan perancangan undang-undang. Penulis telah menerbitkan beberapa jurnal terindeksasi sinta dan dua buah buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Quo Vadis Nahdlatul Ulama: Antara Konsensi Tambang dan Sakralitas Lambang

17 Juni 2024   02:02 Diperbarui: 17 Juni 2024   02:24 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dakwah dengan cara memusuhi ibarat komunitas membangun kota, namun merobohkan istananya."

- Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari

Landasan Berpikir Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama didirikan sebagai antitesa merebaknya dua kutub ekstrem pemahaman beragama dalam Islam, yaitu esktrem kanan yang direpresentasikan oleh kaum Wahabi dan ekstrem kiri yang direpresentasikan oleh kaum sekuler. Paham Wahabi kala itu sudah memasuki sendi-sendi sosio-kultural masyarakat Arab Saudi, khususnya pasca Dinasti Saud yang merupakan pengikut setia paham wahabi berkuasa, perlahan-lahan mereka menghancurkan berbagai peninggalan zaman Nabi Muhammad SAW. dan melakukan pelarangan kebebasan untuk menjalankan ketentuan syariat dan muamalah sesuai dengan madzab empat. Selain itu, representasi kaum sekuler yang digawangi oleh Kemal Attartuk di Turki sebagai bentuk revisi atas kemerosotan wibawa dan pengaruh Turki Utsmani terakhir yang telah jauh dari nilai-nilai Islami serta mengalami dekadensi moral.

Nahdlatul Ulama tidak serta merta didirikan tanpa landasan berpikir, Nahdlatul Ulama merupakan bentuk kontinuitas dari beberapa komunitas yang telah diinisasi oleh para Kiai. Sebelumnya telah eksis gerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 dan gerakan Nahdlatul Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918. Tidak hanya itu, K. H. Wahab Chasbullah sebelumnya juga telah mendirikan suatu kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar atau Kawah Candradimuka Pemikiran, ada pula yang menyebutnya sebagai Nahdlatul Fikr atau Kebangkitan Pemikiran. Maka dari itu, Nahdlatul Ulama tidak dilandasi oleh pemikiran tunggal nan absolut, namun hasil kristalisasi yang matang dari pemikiran para cendikiawan dan berbagai golongan.

Layaknya manusia secara an sich, organisasi akan selalu mengalami pasang surut dalam memandang dan mempertahankan nilainya (value). Otto von Gierke melalui Teori Organ (Orgaan Theorie) menyatakan bahwa organisasi seperti halnya manusia, yang menjelma dalam pergaulan hukum, yang dapat menyatakan kehendak melalui alat-alat perlengkapan yang ada padanya. Layaknya kapal yang dikuasai nahkoda, arah gerak suatu organisasi juga dipengaruhi oleh siapa yang membawanya. Tidak dapat disangkal, Nahdlatul Ulama yang sekarang bukanlah yang dahulu. Tentunya banyak nilai-nilai fundamental yang kini telah terdegradasi bahkan telah hilang mengikuti arus perkembangan manusia.

PBNU Elitis dan NU Membumi

Nahdlatul Ulama secara praksis digerakkan oleh beberapa sub organisasi, salah satunya adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketika terdapat suatu kontroversi yang dilekatkan kepada PBNU, banyak masyarakat yang kemudian menyamaratakannya sebagai Nahdlatul Ulama, di sinilah letak permasalahannya. Banyak yang kemudian menganggap Nahdlatul Ulama sangat elitis karena perbuatan yang dilakukan oleh PBNU. Sebagaimana yang diungkapkan oleh sosiolog senior, Thamrin Tomagola yang menyatakan bahwa faktor utama ketidaksuksesan Nahdlatul Ulama, terkhusus di pranata perkotaan adalah karena sangat elitis dan tidak membumi. Pertama-tama, Penulis akan membantah asumsi demikian.

Hal utama yang harus dipahami, masyarakat tidak bisa mereduksi Nahdlatul Ulama sebagai PBNU. PBNU sebagai sub organisasi memang bermain di tataran elit untuk menyalurkan aspirasi, nasihat (dawuh), dan kritik kepada pemerintah, pengusaha, dan kaum elit lainnya. Maka dari itu, Nahdlatul Ulama lebih besar daripada PBNU karena jantung dan tubuh dari Nahdlatul Ulama ada di akar rumput (grassroot). Banyak pesantren-pesantren berbasis Nahdlatul Ulama yang tidak memiliki pintu gerbang layaknya pesantren modern karena memang pesantren tersebut dibangun sebagai bagian dari sebuah perkampungan sehingga bisa melebur dan menyatu dengan masyarakat umum. Bahkan, rumah-rumah para Kiai selalu terbuka untuk senantiasa menerima kedatangan santri maupun masyarakat yang ingin meminta doa, wejangan, ataupun dawuh.

Sebagai contoh, kediaman salah satu ulama kharismatik Pekalongan, yaitu Habib Luthfi bin Yahya tidak pernah tertutup kepada masyarakat, bahkan disediakan tempat menginap dan beragam makanan untuk menjamu ratusan tamu yang hadir per harinya. Seorang Antropolog dan Sejarawan Islam, Prof. Ismail Fajrie Alatas dalam bukunya What is Religious Authority sempat berceloteh bahwa tamu-tamu yang menghadiri kediaman Habib Luthfi lebih lama mendiamin kediaman tersebut dibandingkan dengan Habib Luthfi dan keluarganya, bahkan yang namanya privasi bagi Habib Luthfi dan keluarganya bisa dikatakan tidak ada. Selain itu, terkisah ketika Presiden Joko Widodo ingin mengunjungi kediaman Habib Luthfi, protokoler kepresidenan meminta gerbang dari kediaman Habib Luthfi untuk ditutup. Uniknya, gerbang tersebut hingga kini sulit untuk ditutup, bahkan digeser sekalipun karena bertahun-tahun tidak pernah ditutup.

Politik Balas Jasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun