Mohon tunggu...
Alfan Alfian
Alfan Alfian Mohon Tunggu... -

M Alfan Alfian adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, dan juga Direktur The Akbar Tandjung Institute, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kecebong

25 Februari 2011   07:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:17 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MAJALAH TRUST, 24 FEBRUARI 2011

(Tulisan ini versi panjang dari kolom yang sama dimuat di Majalah TRUST). Selamat membaca!

Kecebong

M Alfan Alfian

Esais Politik, Dosen di FISIP Universitas Nasional, Jakarta

All animals are equal, but some animals are more equal than others.

George Orwell

Pada tahun 1980-an, almarhum Mahbub Junaidi pernah menulis kolom menarik bahwa cara mudah mengenalkan politik pada anak-anak Anda adalah dengan mengajaknya ke Kebon Binatang. Sungguh aneh. Mengapa penerjemah buku “Seratus Tokoh” ini tidak menyarankan ke Senayan atau Istana Negara. Bisa jadi kolomnis legendaris itu sedang hendak mengajak pembacanya untuk menunjukkan bahwa perilaku para politisi mirip-mirip binatang. Namun, bisa jadi tidak demikian. Bahwa untuk menyadarkan politik itu dipenuhi para pemain watak atau adanya aneka perwatakan dalam politik, maka memang tepat kalau Anda melakukan studi perbandingan ke Ragunan, Gembira Loka, Taman Jurug, Wonokromo, Taman Safari Puncak, dan sejumlah kebon binatang lainnya.

Ajakan wartawan jenaka asal Betawi yang novelnya “Dari Hari ke Hari” pernah saya lalap saat SMA itu, segera tersambungkan ke fabel-fabel politik almarhum Kuntowijoyo yang rajin menulis kolom setelah sempat sakit serius. Kuntowijoyo pernah melibatkan Kanjeng Nabi Sulaiman dalam fabel-fabelnya yang renyah itu. Atau Anda juga langsung ingat novel George Orwell “Animal Farm” yang fabelistik itu?

Dalam sebuah kolom Budayawan Emha Ainun Nadjib mungkin Anda pernah membaca tentang seekor binatang yang tak jelas juntrungannya bernama ketonggeng tiba-tiba menyusup dalam ingar-bingar politik Orde Baru. Dalam kolom era awal 1980-an itu, sang ketonggeng mendadak hadir, dipuja-puja, diseminarkan, diindoktrinasikan, dikultuskan, tapi kemudian semuanya menjadi tidak jelas, yang mana, apa dan siapa dia. Tapi, membaca itu, benak saya langsung terlintas Pak Harto, Pancasila, asas tunggal, dan penataran P-4. Kolom Emha ini, saya kira merupakan sebuah genre tersendiri atas kritik terhadap rezim Orde Baru.

Sesungguhnya sudah amat kuno pendekatan fabelitsik dipakai orang. Baca saja hikayat “Khalilah dan Dimnah”, maka Anda akan semakin ngeh bahwa memang kekuasaan dan seluk-beluknya itu terkait dengan dunia perbinatangan. Beberapa filosof Barat juga akrab dengan perumpamaan watak-watak binatang. Machiavelli memunculkan watak singa (kuat) dan rubah (licik) dalam karyanya. Immanuel Kant mengetengahkan ular (licik) dan merpati (tulus) dalam diri politisi. Thomas Hobbes, maghadirkan negara sebagai leviathan, monster dasar laut yang sangat ganas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun