Mohon tunggu...
Imam AlfanRahadyan
Imam AlfanRahadyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa HI di UNEJ

Menyukai bidang ekonomi politik internasional serta memiliki hobi seni, nonton, dan ngegame

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinamika Cyber Warfare AS dengan China

22 Januari 2022   23:04 Diperbarui: 22 Januari 2022   23:47 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak bangkitnya People’s Republic of China (PRC) di tahun 1949, Hubungan antara AS dan China selalu saja dikarakteristikan sebagai hubungan yang penuh konflik, konfrontasi, dan ketidakpercayaan. Pola hubungan yang penuh ketegangan ini tidak hanya terjadi di dunia nyata saja, tetapi juga berlaku dalam dunia maya/cyberspace. Cyberspace telah berkembang cukup pesat dan luas karena cyberspace bersifat global, tidak mudah dibatasi dalam lingkup domestik dan internasional, dan dapat melintasi hampir semua aktivitas manusia sehingga karena tidak adanya limitasi, cyberspace menjadi salah satu wilayah yang paling kontensius bagi AS dan China.

Pada tahun 2010, terjadi serangan ke infrastruktur Google yang berasal dari China dan akun Gmail milik dua aktivis hak asasi manusia juga ikut terkena serangan tersebut.[1] Setidaknya pada tahun tersebut ada 33 perusahaan yang terkena serangan cyber baik di bidang komersial ataupun militer.[2] Amerika Serikat mulai mengatakan bahwa China melakukan serangan spionase secara online, sebagian besar metode serangan dilakukan menggunakan email phishing terhadap perusahaan Amerika untuk mencuri kekayaan intelektual. Selanjutnya AS mengatakan bahwa China menjadi satu-satunya risiko terbesar terhadap keamanan teknologi Amerika dan pada perkembangan selanjutnya, frekuensi serangan cyber dari China ke AS semakin meningkat.  Pembicaraan formal antara AS dan China pernah terjadi pada tahun 2013, tetapi pembicaraan formal tersebut terputus oleh China pada tahun 2014. Tidak adanya komitmen tegas terhadap norma-norma yang mengatur aktivitas dan pengaturan dunia maya menjadi penyebab timbulnya risiko besar bagi hubungan bilateral, stabilitas regional, dan ketertiban global. 

Pada 2015, pejabat Obama mengancam akan menyambut Presiden Xi Jinping dari China dengan pengumuman sanksi pada kunjungan pertamanya ke Gedung Putih karena pelanggaran yang sangat agresif terhadap Kantor Manajemen Personalia AS. Dalam serangan itu, peretas China mencuri informasi pribadi yang sensitif termasuk lebih dari 20 juta sidik jari orang Amerika yang telah diberikan izin keamanan. Pejabat Gedung Putih mencapai kesepakatan dengan China bahwa mereka akan menghentikan peretasannya terhadap perusahaan dan kepentingan Amerika untuk kepentingan industrinya. Dampaknya selama 18 bulan di pemerintahan Obama, peneliti keamanan dan pejabat intelijen mengamati penurunan mencolok dalam peretasan China.

Selanjutnya, pada masa pemerintahan Donald Trump dimana perang dagang dan ketegangan dengan China yang semakin meningkat menyebabkan kasus peretasan meningkat kembali. Pada 2018, pejabat intelijen AS melihat adanya pergeseran dimana peretas People’s Liberation Army (PLA) telah digantikan oleh operasi yang bekerja dibawah Kementerian Keamanan Negara China yang menangani bidang keamanan, intelijen, dan polisi rahasia China. Bahkan menurut pejabat intelijen AS, peretasan kekayaan intelektual yang menguntungkan ekonomi China bukan berasal dari PLA tetapi dari berbagai jaringan dan kontraktor termasuk insinyur yang bekerja untuk beberapa perusahaan teknologi terkemuka di negara target.

Saat masa pemerintahan Biden, China menunjukan bahwa mereka mengatur operasi peretasannya dengan melakukan serangan digital terhadap berbagai macam perusahaan swasta asing dan lembaga pemerintah AS secara diam-diam. Contohnya  seperti serangan eksploitasi “zero-days”  yang sulit diketahui dalam perangkat yang banyak digunakan oleh layanan email Microsoft Exchange dan perangkat keamanan Pulse VPN yang memungkinkan peretas China beroperasi tanpa terdeteksi untuk waktu yang lebih lama.

Hubungan antara China dan AS yang penuh dengan konflik ternyata juga berdampak pada ranah cyberspace dimana hubungan AS dan China yang semula konflik pernah mengalami penurunan konflik cyberspace pada masa pemerintahan Obama. Akan tetapi konflik cyberspace semakin berlanjut pada saat pemerintahan Trump seiring dengan semakin tegangnya perang dagang antara AS dan China, selanjutnya konflik cyberspace masih tetap eksis pada masa pemerintahan Biden dengan sebutan “Cold War 2.0” oleh sebagian besar masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun