Pembunuhan secara keji dan sangat biadab terhadap Fransiesca Yofie di Kota Bandung, Senin 5 Agustus 2013 lalu, hingga saat ini masih menyisakan banyak pertanyaan meskipun para pelakunya telah diamankan aparat kepolisian. Perbedaan keterangan antara pengakuan pelaku dengan kesaksian para saksi mata, ditambah lagi dengan pernah adanya hubungan dekat korban dengan seorang aparat kepolisian sendiri, menjadikan kasus ini semakin menarik perhatian.
Salah satu yang kemudian layak digaris-bawahi dan menjadi catatan tebal adalah kenyataan bahwa korban sebenarnya masih hidup saat ditemukan, bahkan masih mampu menangis sambil mencium kalung salib yang dipakainya seperti diberitakan situs tribunnews, Jumat 16/8/2013. Keterlambatan datangnya penegak hukum beserta ambulans penolong, di situs okezone disebut terlambat hingga 1,5 jam sementara tribunnews menyebut hingga dua jam, bisa jadi menjadi salah satu sebab tak terselamatkannya nyawa korban.
Sementara, masyarakat sekitar yang melihat langsung kejadian itu tak juga tergerak hatinya untuk sesegera mungkin menyelamatkan Fransisca Yofie, walaupun akhirnya ditolong juga beberapa saat sebelum kedatangan polisi, dengan alasan takut terseret dalam pusaran kasus itu. Ya, mereka tak mau menolong korban karena takut bermasalah alias berurusan dengan polisi serta takut menyentuh korban karena rasa takut sidik jarinya ikut tertinggal di tubuh dan pakaian korban.
Sungguh menjadi sebuah ironi di mana nyawa seseorang tak tertolong hanya karena rasa takut yang berlebihan dari masyarakat kepada aparat kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung mereka sendiri. Di sisi lain terlihat justru aparat kepolisian dirasakan menjadi ancaman bagi warga yang seharusnya mereka lindungi, bahkan untuk urusan tolong-menolong yang menyangkut urusan mati-hidupnya seseorang. Masyarakat yang melihat langsung dan tak menolong korban mungkin salah, tetapi jika alasan takut kepada penegak hukum itu nyata adanya, maka rasanya ada yang salah dengan peri-kehidupan bangsa ini.
Lalu, di hari hari besar perayaan ulang tahun kemerdekaan ke-68 Indonesia ini, mari kita berpikir lagi perlukah kita merayakan hari itu jika masyarakat sendiri terjajah batinnya bahkan mengalahkan nilai kemanusiaan hanya karena ketakutan terhadap aparat yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayomnya. Dan tragisnya lagi, aparat-aparat itu hidup dari pajak hasil keringat dan kerja keras masyarakat sendiri.
Lalu apa yang kita banggakan dari umur 68 tahun bangsa ini? Bukankah rasa takut itu menjadi monster dan teror serta membuat kehidupan menjadi kehilangan rasa kemanusiaan? Dan dijajah oleh bangsa sendiri adalah hal yang lebih menyakitkan dari penjajahan bangsa asing selama berabad-abad. Mestinya semua itu diperbaiki! Agar kita layak kembali merayakan peringatan kemerdekaan kita, pantas merasa menjadi jiwa yang merdeka.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H