Pra Pilpres
Dari sekian banyak isu yang muncul ketika pilpres lalu, isu tentang perburuhan mendapatkan tempat tersendiri. Isu ini bahkan sudah mulai ramai diperbincangkan sebelum masa kampanye secara resmi dilakukan. Walau tak seheboh isu kampanye hitam tentang agama dan ras yang menjadi “idola” selama pilpres, namun perdebatan dari isu perburuhan tetap menjadi daya tarik tersendiri.
Tepat pada tanggal 1 Mei 2014, sebuah gebrakan besar dilakukan oleh kubu Prabowo. Dimana dia menghadiri sebuah rapat akbar besar di Gelora Bung Karno, yang dilakukan buruh-buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, kabarnya Prabowo telah menandatangani kontrak politik dengan serikat buruh tersebut untuk memenuhi 10 tuntutan buruh kepada capres tersebut, dengan timbal balik dukungan penuh dari Konfederasi untuk memenangkan Prabowo sebagai Presiden.
Sementara di hari yang sama, Jokowi melakukan dukungan kepada buruh dalam bentuk yang sederhana. Ditemani oleh Rieke Diah Pitaloka, mereka mendatangi buruh yang sakit di pemukiman buruh, dibilangan Jakarta Utara. Yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan Piagam Marsinah oleh Jokowi yang memuat tiga janji besar Jokowi untuk buruh. Kerja Layak, Upah Layak, dan Hidup Layak.
Jika kita lihat dari sisi kemegahan, tentu apa yang dilakukan oleh Prabowo dengan memberikan pidato dihadapan puluhan ribu buruh mendapatkan nilai yang cukup besar. Baik dari sisi publikasi media, maupun dari sisi klaim keberpihakan Capres kepada buruh. Sementara apa yang dilakukan oleh Jokowi mendapatkan nilai dari sisi humanisme. Namun demikian, dukungan yang diberikan oleh KSPI kepada Prabowo juga mendapatkan kritikan yang tajam dari berbagai serikat buruh progresif. Seperti yang dimuat dalam sebuah situs arahjuang.com, Said Iqbal selaku Ketua Umum KSPI sempat mengatakan bahwa isu pelanggaran HAM jauh dari kehidupan buruh karena tidak langsung bersinggungan dengan kehidupan buruh. “Prabowo dikatakan ada persoalan HAM, tetapi buruh tidak bersinggungan jadi agak sulit dikaitkan dengan buruh,” demikan pernyataan Said Iqbal seperti yang diberitakan oleh Tribunnews.com (http://www.tribunnews.com/nasional/2014/03/25/dianggap-pro-upah-murah-jokowi-kurang-populer-di-kalangan-buruh).
Apa yang diucapkan tersebut tentu sebuah ucapan a-historis dari gerakan buruh yang berkembang di Indonesia pasca 98. Pada era Orde Baru, serikat buruh hanya ada satu yaitu SPSI. Dan semua dikendalikan oleh negara. Pemogokan, demonstrasi, tuntutan perbaikan nasib buruh menjadi satu hal yang tabu untuk dilakukan oleh buruh pada masa itu. Dan ketika hal tersebut masih dilakukan oleh buruh, maka represi yang akan menjadi jawaban dari pemerintahan Orde Baru. Dan semua orang tahu, bahwa Prabowo adalah bagian yang tak terpisahkan dari kekuasaan Orde Baru. Mantan Danjen Kopasus, dan menantu dari penguasa utama Orde Baru, Soeharto. Militer adalah salah satu alat dari negara untuk merepresi gerakan buruh pada masa itu. Tengok saja salah satu contoh kasus kematian seorang pejuang buruh perempuan bernama Marsinah di Sidoardjo.
Pilpres
Pada saat kampanye pilpres secara resmi dimulai dan dibuka oleh KPU, isu perburuhan relatif tidak banyak terangkat. Walau fragmentasi dari serikat buruh sudah mulai terlihat pada pilpres kali ini, namun tak mampu mengangkat isu-isu mendasar dari berbagai problematika kaum buruh. SPSI sebagai serikat buruh terbesar di Indonesia telah menyatakan dukungannya kepada Jokowi. Serikat Buruh Seluruh Indonesia, SBSI juga demikian.
Pada berbagai kesempatan debat kandidat yang diselenggarakan oleh KPU, isu perburuhan juga tak banyak disinggung oleh kedua kandidat. Mungkin ini bukan salah kandidatnya, atau salah dari gerakan buruh yang tak mampu mengkapitalisasi isu-isu perburuhan untuk menjadi salah satu isu utama yang diperdebatkan oleh para kandidat. Pilpres 2014, memang menyita banyak perhatian masyrakat dan juga kandidat untuk memperbincangkan isu-isu yang sebenarnya tidak pernah ada. Berbagai kampanye negatif sampai dengan kampanye hitam jauh lebih mewarnai perdebatan diberbagai sudut, dibandingan memperdebatkan apa yang secara jelas dan nyata dialami oleh masyarakat luas.
Namun demikian, apa yang telah dilakukan oleh kedua kandidat dengan kontrak politik dan janjinya untuk perbaikan nasib buruh telah tercatat secara khusus oleh kaum buruh dan oleh publik secara umum. Hanya tinggal menunggu siapa yang memenangkan pertarungan, dan berikutnya akan beranjak pada pengawalan yang dilakukan oleh kaum buruh kepada kandidat yang memenangkan pertarungan.
Pasca Pilpres
9 Juli 2014, melalui quick qount publik sudah dapat melihat siapa yang memenangkan pertarungan. Walau ada kubu yang juga mengklaim menang melalui 4 lembaga survey. Namun tepat pada tanggal 22 Juli 2014, KPU sebagai wasit dalam pertarungan ini, secara resmi telah mengumumkan pemenang dari pertarungan yang melelahkan tersebut. Joko Widodo didaulat menjadi pemenang dengan selisih suara kurang lebih 8 juta. Prabowo memang tidak menerima hasil penghitungan oleh KPU, namun deligitimasi politik yang hendak dilakukannya tak banyak menuai dukungan dari publik dan tokoh masyrakat. Bisa dikatakan, pemilu ini hanya tinggal menunggu ketuk palu dari MK untuk kembali memenangkan Jokowi sebagai Presiden Indonesia periode 2014-2019.
Sementara Prabowo disibukan dengan berbagai urusan perihal gugatan, Jokowi telah melangkah maju mengklaim kemenanganya. Belum lama ini Jokowi Center telah meluncurkan satu pooling publik untuk memilih kandidat kabinet Jokowi versi rakyat. Dan sesuai topik bahasan ini, nama kandidat yang muncul sebagai Menteri Tenaga Kerja antara lain adalah Rieke Diah Pitaloka, Wahyu Susilo dan lain sebagainya. Namun ada nama lain yang juga muncul dikalangan serikat buruh, seperti Jumhur Hidayat, walau nama tersebut tidak tertulis didalam salah satu kandidat yang dirilis oleh pooling Jokowi Center.