Mohon tunggu...
Alfaenawan
Alfaenawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Tata Negara

Berkarya guna Mencerdaskan kehidupan bangsa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penguatan Lembaga DPD Melalui Amandemen Kelima UUD 1945

4 Februari 2023   07:28 Diperbarui: 4 Februari 2023   09:54 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Alfaenawan

  • Latar Belakang

Perubahan sistem penyelenggaraan Indonesia mengalami perkembangan yang sangat mendasar. Mulai dari masa orde lama sampai masa reformasi. Pada awal era reformasi Indonesia mengalami amandemen UUD 1945 sampai empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Adanya empat kali amandemen ini tentu telah banyak membawa perubahan yang mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan penataan kelembagaan negara. Amandemen ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dalam melakukan pembahasan secara mendalam. UUD yang sudah diamandemen sampai empat kali ternyata masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan. Dengan demikian, sangat penting untuk melakukan amandemen kelima UUD agar sistem ketatanegaraan di Indonesia bisa lebih terstruktur, sistem demokrasi berjalan lebih sempurna, serta pembagian kekuasaan yang terdistribusikan dengan baik.

Wacana amandemen kelima UUD 1945 sudah pernah dicanangkan pada tahun 2019. Kemudian baru-baru ini persoalan amandemen terbatas menjadi isu kontroversial di kalangan politisi, akademisi, dan masyarakat pada umumnya. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyatakan akan melakukan amandemen terbatas UUD 1945, hanya terbatas untuk menetapkan Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN).  Namun, penulis tidak membahas mengenai PPHN, melainkan gagasan Amandemen Kelima UUD 1945, terutama mengenai upaya dalam meningkatkan fungsi dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan DPD di parlemen telah mengubah sistem legislatif Indonesia menjadi sistem bikameral (dua kamar). Sistem bikameral ini menghendaki agar kekuasaan menjadi seimbang antara dua kamar, yaitu DPR dan DPD. Perbedaan sederhana antara DPR dan DPD adalah apabila DPR berfungsi untuk mempresentasikan kepentingan rakyat secara umum atau yang dikenal dengan prinsip political representation. Sementara DPD merupakan lembaga yang menampung aspirasi daerah yang disebut dengan regional representation. Keberadaan lembaga DPD sebenarnya merupakan pengganti dari eksistensi utusan daerah, sedangkan utusan golongan ditiadakan. Penghapusan utusan golongan menurut Bagir Manan, lebih didorong oleh kepentinngan pragmatis dari pada kepentingan konseptual. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif (legal research). Pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dipergunakan dalam penelitian ini.  

  • Pembahasan 

Sistem perwakilan yang dikenal dapat dibagi menjadi tiga (3), yaitu: sistem perwakilan satu kamar (unicameral), sistem perwakilan dua kamar (bicameral), dan sistem perwakilan tiga kamar (three cameral/multi kameral). Untuk sistem perwakilan tiga kamar ini jarang dijumpai di berbagai negara. Sedangkan sistem perwakilan yang umumnya dipraktikan di berbagai negara demokrasi di dunia dapat berupa: sistem perwakilan politik (political representative), sistem perwakilan territorial (territorial representative), dan sistem perwakilan fungsional (fungsional representative). Dalam konteks sejarah, Indonesia pernah menjalani ketiga sistem sekaligus, yaitu sistem perwakilan politik, sistem perwakilan fungsional, dan sistem perwakilan territorial. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, dinyatakan bahwa: “MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”.

Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah 

Penguatan DPD sangat penting karena fungsi dan wewenang yang dimiliki DPD sekarang ini sangat terbatas. Apabila merujuk dalam UUD 1945, Pasal yang membahas mengenai lembaga DPD terdapat dalam Pasal 22C dan 22D. kewenangan yang dimiliki DPD tertuang dalam Pasal 22 D Ayat (1) yaitu: dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat ruu tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, dan pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan derah) Kemudian ayat (2): “DPD ikut membahas RUU tertentu dan memberikan pertimbangan atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, dan RAPBN. Selanjutnya Ayat (3): “DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya DPR. Sedangkan wewenang DPD lainnya adalah Pasal 23F UUD 1945, yaitu: Anggota BPK dipilih oleh anggota DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.

Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa wewenang DPD hanya dapat mengajukan pendapat dan ikut membahas terhadap rancangan undang-undang tertentu. Sehingga wewenang untuk memutus diberikan kepada DPR. Selain itu, fungsi pengawasan (control) DPD masih belum maksimal karena dilimitasi berkaitan dengan undang undang tertentu, yaitu terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga DPD akhirnya memunculkan pertanyaan di publik. Apakah sebaiknya Lembaga DPD ini diperkuat? Atau justru dihilangkan karena fungsi legislatif sudah diberikan oleh DPR. Menurut penulis DPD perlu diperkuat dengan menambah kewenangan DPD, tentunya melalui Amandemen UUD 1945. Diperkuat karena dalam konteks sejarah, eksistensi DPD menggantikan posisi utusan daerah yang notabene sebagai territorial representative. Apabila membandingan Pasal 2 UUD 1945 sebelum sesudah amandemen, maka akan terlihat bahwa terdapat unsur sistem perwakilan yang dihilangkan, yaitu utusan golongan. Oleh karena itu, keberadaaan utusan daerah perlu dipertahankan, sehingga DPD perlu diperkuat agar mekanisme check and balances dapat terwujud secara maksimal.

Analisis Yuridis, Filosofis, dan Sosiologis

Pembentukan suatu peraturan yang baik harus dilandaskan kepada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Adapun dari segi filosofis, penguatan fungsi dan wewenang Lembaga Dewan Perwakilan Daerah harus diselaraskan dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila terutama sila keempat yang berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sila ini menjadi dasar filosofis bagi pengembangan partisipasi masyarakat. Soverenitas kerakyatan. Peran DPD sebagai perwakilan daerah agar kepentingan (interest) setiap daerah dapat tersalurkan dengan maksimal. Oleh karena itu, jika DPD tidak diberi wewenang yang seimbang terhadap DPR, maka akan bertentangan dengan tujuan utama dibentuknya DPD, yaitu untuk menyalurkan kepentingan di berbagai daerah. Apabila merujuk dalam Preambule UUD 1945, salah satu tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan umum (civil society). Berangkat dari landasan filosofis konstitusi, penyelenggaraan negara pada hakikatnya berkewajiban memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat. Untuk mewujudkan negara yang sejahtera (welfare state), maka peran DPD guna menyerap aspirasi setiap daerah di nusantara menjadi sangat penting. Dalam mewujudkan semangat tersebut, lembaga negara baik pusat maupun daerah harus mengoptimalkan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam melakukan regulasi dalam bidang lingkungan hidup. Pada dasarnya, filosofi dasar mengenai hukum adalah hukum untuk manusia. Oleh karena itu, manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Artinya hukum bertugas melayani kepentingan manusia. Guna mewujudkan pemikiran tersebut, maka diperlukan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dimaksudkan agar hukum menjadi bagian yang dimiliki serta dihormati oleh masyarakat yang hidup dalam suatu negara. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah merupakan hak rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat.

Adapun dari sisi yuridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang bersifat teknis-yuridis. Landasan yuridis adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtground) bagi pembuatan suatu norma. Landasan yuridis dapat dibagi menjadi dua, yaitu: landasan yuridis dari segi formil (wewenang instansi tertentu untuk membuat peraturan) dan landasan yuridis dari segi materiil (mengenai isi/dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu). Secara normatif, kedudukan DPD setara dengan kedudukan DPR, hal ini dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 92/PUU-X/2012. Namun kewenangan DPD selalu dipangkas melalui UU MD3 dan UU P3. Bahkan UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tidak secara penuh mencantumkan ketentuan-ketentuan yang telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi. Fakta tersebut merupakan upaya inkonstitusional untuk memangkas kewenangan DPD di bidang legislasi yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, perombakan wewenang DPD melalui amandemen UUD 1945 akan lebih efektif dari pada melalui undang undang. Posisi MK sebagai legislator negatif mengakibatkan implikasi yang sangat besar dalam pembentukan undang undang. Pemangkasan kewenangan lembaga DPD akan menimbulkan berbagai implikasi, yaitu Pertama, DPD menjadi lembaga perwakilan dengan mandat elektoral, namun tanpa kewenangan. Sehingga keberadaan DPD sama seperti ketidaannya. Kedua, mengingkari harapan rakyat daerah yang memilih wakilnya di DPD. Karena mereka berharap bisa mengartikulasi dan mengagregasi kepentingannya. Namun DPD tidak mempunyai kewenangan untuk mentransformasi aspirasi menjadi produk kebijakan nasional. Ketiga, tidak terbangunnya mekanisme check and balances, padahal prinsip keseimbangan sangat diperlukan bagi Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila.

Sedangkan dari sisi sosiologis, Apabila DPD tidak diperkuat maka akan berpotensi kurangnya harapan masyarakat di daerah yang memilih wakilnya di DPD, Karena mereka berharap bisa menyerap kepentingan daerahnya. Tetapi ternyata DPD tidak diberi kewenangan yang memadai. Pemangkasan wewenang DPD juga akan mempengaruhi pada kinerja yang dilakukan oleh DPD, sebagian masyarakat menanyakan kinerja apa yang sudah dihasilkan ketika menjabat DPD selama satu periode? kinerja DPD yang tidak maksimal karena keterbatasan wewenang yang dimiliki oleh DPD, sehingga terdapat masyarakat yang menuntut untuk membubarkan DPD. Dengan demikian, penting untuk memperkuat kewenangan DPD agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat di berbagai daerah. pembentukan peraturan mestinya berangkat dari realitas yang ada dalam masyarakat. Realitas tersebut dapat berupa fakta sosial maupun aspirasi yang berkembang. Dari berbagai persoalan tersebut dapat diketahui bahwa legitimasi sosial dari suatu masyarakat itu sangat penting. Dengan landaan sosiologis, maka akan dapat diukur potensi ketaatan masyarakat atas suatu undang-undang. Jangan sampai dibentuk suatu peraturan yang justru akan mendapat resistensi dari masyarakat itu sendiri.

  • Gagasan Amandemen Kelima UUD 1945

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun