Mohon tunggu...
Alfa Anisa
Alfa Anisa Mohon Tunggu... Editor - Penulis Blitar

Saat sedang sendirian, lebih suka menikmati waktu untuk berimajinasi, melamun dan menyendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dari Penulis Sastra di Koran, Berubah Haluan jadi Penulis Serabutan Multitasking

27 Oktober 2023   08:56 Diperbarui: 27 Oktober 2023   09:38 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Janganlah hidup dari sastra. Carilah pekerjaan dan kesibukan lain yang bisa menghidupi sastramu. Kota ini, bahkan negara ini tak ada istilah sastra akan dihargai. Setidaknya kamu harus menghidupi dirimu sendiri dan hobimu dari pekerjaan lain," pesan guruku menulis beberapa tahun lalu yang masih tersimpan jelas dalam ingatanku. 

Pesan itulah yang membuatku termotivasi untuk mencari jalan lain agar kesenanganku dalam menulis puisi nantinya dapat terus tumbuh. Ada beberapa pekerjaan yang kupilih setelah memutuskan pelan-pelan berhenti menulis sastra di koran, salah satunya menjadi blogger.

Menulis cerpen bahkan puisi bagiku bukanlah hal yang mudah, mungkin sekilas hanya karangan biasa, atau kata-kata yang 'ndakik' gitu sudah beres. Padahal ada pesan dan makna yang harus dipikirkan dengan matang, ada unsur instrinsik yang dibangun secara mendalam, serta kepekaan terhadap sekitar yang kini kurasakan makin berkurang.

Terlepas dari sulitnya menulis puisi atau cerpen, aku ingin menceritakan bagaimana akhirnya kini memilih menjadi blogger, atau sering menyebutnya sebagai penulis serabutan yang multitasking. Tak hanya menulis satu bidang yang disukai saja, ternyata menjadi blogger professional harus bisa menulis sesuai brief yang diberikan, bahkan jadi merambah ke dunia fotografi hingga desainer.

Awalnya Penulis Puisi di Koran, Namun Pindah Haluan

dokpri
dokpri

Menulis puisi bagiku dulu bukan hanya menuliskan kegalauan, sakit hati ditinggalkan, atau jatuh cinta saja. Tetapi juga soal pesan yang bakal diterima oleh pembaca. Saat itu aku lebih fokus menulis puisi di koran dengan beragam tema mulai dari kearifan lokal, lingkungan, kampung halaman,  hingga kritik sosial terhadap pemerintahan.

Awalnya menulis puisi di koran hanya untuk bersenang-senang, lalu jadi mata pencaharian. Lambat laun aku mulai gelisah karena terkadang honor tak ada kabar. Benar saja apa yang dikatakan oleh guru menulisku. Meskipun begitu, aku menyukai perjuangan dulu setiap seminggu sekali mengirim 4 naskah puisi sekaligus ke koran dengan ketentuan satu naskah terdiri dari empat sampai lima puisi.  Bahkan sempat merasakan berkeliling kota hanya untuk menghadiri pembacaan puisi yang diadakan oleh beberapa komunitas.

Saat baca puisi di Malang. Dokpri
Saat baca puisi di Malang. Dokpri

Beberapa waktu kemudian guru menulis di kota ini menyarankan untuk tidak hidup dari sastra, guru menulisku ini salah satu sastrawan yang dulunya juga orang teater. Sehari-hari ia tak mengandalkan honor dari menulis, karena kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi dari gaji sebagai ASN. Menulis puisi baginya hanya sebagai panggilan jiwa.

Pesan dari guruku tersebut membuatku tersadar, jika ingin mandiri secara ekonomi aku harus mampu membiayai kesenanganku agar tetap terjaga niat serta kemurnian saat menulis puisi. Aku tak mungkin terus menerus mengandalkan puisi ke koran, karena paling malas menagih honor ke redaktur. Terlebih lagi jika aku tetap memaksa untuk menulis puisi, yang ada isinya keterpaksaan dan diksinya terkesan tak ada ketulusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun