"Gempa Berkekuatan 7,2 Skala Richter Mengguncang Maluku Utara". Rasanya hampir semua media namun tidak semuanya menyebutkan hal demikian.
Padahal, penulisan tersebut dinilai kurang tepat dan harus segera diperbaiki. Letak kekeliruan berada pada istilah 'skala richter' sebagai ukuran intensitas gempa yang baru saja terjadi.
Jika dilihat lebih cermat, pernyataan yang disampaikan Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui situs resmi tidak lagi mencantumkan skala richter sebagai besaran gempa.
Penggunaan Magnitudo (M) dan Skala Richter (SR) masih menimbulkan tanda tanya. Tidak hanya di masyarakat, media di tanah air pun masih kerap bingung menentukan satuan dalam mengukur besaran gempa.
Perlu diketahui bahwa BMKG sudah tidak lagi menggunakan skala richter sebagai ukuran gempa, akan tetapi kini telah menggunakan ukuran magnitudo.
Berbagai negara dunia sudah mulai meninggalkan skala richter sebagai alat ukur. Kalangan akademisi menilai skala richter sudah tidak relevan untuk terus digunakan.
Baik media cetak maupun elektronik sebagian besar belum mengetahui secara pasti penggunaan judul yang tepat antara magnitudo atau skala richter.
Penggunaan skala richter sebagai ukuran gempa merupakan bentuk apresiasi terhadap Charles Francis Richter yang telah menemukan alat ukur gempa pada tahun 1935. Richter merupakan seorang fisikawan asal Amerika Serikat.
Skala richter mengukur kekuatan gempa dengan membuat simpangan amplitudo maksimum pada seismograf. Seismograf adalah suatu alat atau sensor yang digunakan untuk mengukur gempa atau getaran yang terjadi di permukaan tanah.
Penggunaan skala richter biasanya digunakan dalam ruang lingkup yang sempit serta gempa dengan kekuatan kecil. Lokasi radius yang mampu diukur secara tepat kurang dari 500 hingga 600 kilometer dari pusat gempa..
Awalnya skala richter digunakan untuk mengukur gempa yang terjadi di wilayah California Selatan. Dalam perkembangannya skala tersebut banyak digunakan pada lokasi lainnya.