Mohon tunggu...
Alfadi Akbar
Alfadi Akbar Mohon Tunggu... -

Suami/Ayah/Anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Minke dan Nyai Ontosoroh, Sebuah Titik di luar Diagram

17 November 2012   05:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:12 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wonokromo sore itu adalah sebuah perkebunan, peternakan, dan keluarga seorang Nyai. Keluarga itu kedatangan dua pemuda, yang satu peranakan Belanda dan yang satu Pribumi. Di dalam keluarga Nyai tersebut ada seorang gadis, juga peranakan Belanda, sangat cantik, lugu, dan cekatan, seorang anak yang mendapat curahan perhatian dari ibunya dalam bentuk didikan berkasihsayang.

Setidaknya itu semua yang dilihat orang dari luar.

Kenyataannya berbeda, di Wonokromo tersebut, bukan hanya kediaman seorang gadis pribumi yang digundik-paksa oleh orang Eropa yang kaya raya lengkap dengan perusahaan-perusahaannya. hingga turun derajatnya di depan awam karena berstatus sebagai istri simpanan. Di Wonokromo tersebut hiduplah satu gadis pribumi yang menggugat satu tembok tebal yang besar: adat istiadat. Pandangan masyarakat umum adalah musuhnya, rasa bencinya, frustasinya, karena awam hanya mengetahui apa yang terlihat dari luar. Dari dalam, Nyai Ontosoroh adalah wanita yang terluka nuraninya karena ayahnya menjualnya kepada seorang Belanda Totok dengan mata uang bernama jabatan. Sanikem adalah nama aslinya. Sanikem muda cukup beruntung jatuh ke tangan totok yang berbaikhati dan mengajarinya berbagai macam ilmu modern yang sangat sulit didapat oleh seorang pribumi biasa. Status Nyai yang ia terima dengan berat hati, dirasa impas karena kasih sayang suaminya, Melema. Melema sebagai Eropa Totok awalnya tidak bersifat kolonial. Terhadap Sanikem, istri simpanannya, Melema menghormatinya sebagai manusia utuh dalam kehidupan sehari-hari. Satu hal langka yang tidak dapat wanita pribumi rasakan jika diperistri laki-laki pribumi. Tidak lain karena wanita pada waktu itu dianggap penghias rumah tangga belaka, tanpa hak menggugat suami jika suami salah, dan harus patuh. Manusia dengan hak terpotong.

Di satu sisi, Sanikem dengan gelar Nyai Ontosorohnya telah turun derajatnya di mata awam, di sisi lain, Sanikem dengan perusahaannya yang dirawat layak anaknya sendiri disegani awam. Ia membalas-balik dengan hati yang berbaik: awam ditolongnya, dipekerjakannya dalam perusahaannya dan diperhatikan kesejahteraannya. Ia sadar, pandangan awam yang salah dan menyindir itu hadir karena kekosongan wawasan, kebodohan pekat.

Pun begitu Minke, pemuda pribumi yang datang bertamu ke rumahnya karena tertarik oleh tantangan temannya, seorang peranakan, bahwa ada gadis cantik anaknya Nyai Ontosoroh tersebut belum lagi memiliki kekasih. Siapa yang dapat menjadikannya kekasih, salah satu di antara mendapat penghormatan. Minke dan temannya, Robert, adalah siswa H.B.S, sekolah elite bagi para anak pejabat atau pun totok. Minke  yang mendapat didikan Eropa memiliki sudut pandang lain terhadap adat istiadat masyarakatnya sendiri. Minke menutupi identitasnya sebagai anak bupati karena tidak ingin mendapatkan perlakuan istimewa yang berlebih-lebihan dari Nyai Ontosoroh. Ia adalah pribadi yang berpendapat bahwa perlakukan istimewa harus hadir sebagai akibat apa telah diraihnya, bukan apa yang telah diwarisinya. Minke pun mendapatkan hati gadis tersebut beserta sang Nyai. Sang Nyai menyayangi Minke seperti anaknya sendiri dan hendak menjadikannya sebagai suami dari anaknya. Minke dan Nyai berjalan seiring sebagai dua manusia yang memiliki satu visi hingga akhir dari Tetralogi Pulau Buru.

***

Benturan-benturan akan nilai sosial dalam masyarakat awam pada zaman itu terus menerus dihadirkan oleh Pramoedya dalam Tetraloginya. Satu adegan yang cukup mendobrak adalah ketika Nyai Ontosoroh meminta Minke dan anak gadisnya untuk tidur satu kamar disaat anak gadisnya jatuh demam, padahal belum juga berkawin. Di sini Nyai ingin menunjukkan bahwa apa yang tidak patut oleh awam belum tentu bernilai sama bagi satu pribadi. Nyai tahu, mereka berdua adalah anak muda yang terpaut nafsu birahi. Nyai pun sadar apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi Nyai merasa tidak berhak menghalangi apa yang menurutnya sangat murni tersebut. Nyai sebagai seorang ibu sangat mengerti bahwa anaknya sangat tergila-gila oleh Minke dan begitu juga sebaliknya. Nyai yang tidak pernah merasakan cinta semasa mudanya menjadi memiliki penilaian berbeda terhadap cinta yang telah dirasakan anaknya. Baginya hal ini menjadi begitu lain. Pun begitu Nyai tidak salah, sang gadis selalu menjadi cinta sejati Minke.

Seakan Pramoedya lewat bukunya berbicara bahwa pendapat awam lahir dari apa yang dilihat dan dirasakan bersama. Hasil generalisasi. Pendapat pribadi lahir dari sudut pandang yang lain, yang besar kecil sudutnya bergantung atas wawasan dan latar belakang hidup si pribadi tersebut. Hasil generalisasi tersebut hadir sebagai sebuah rata-rata dengan mayoritas sebagai batas kisar.

Dan orang-orang seperti Nyai dan Minke adalah minoritas yang tidak ikut serta dalam pawai generalisasi tersebut hingga nilai-nilai awam tidak berhak ikut serta dalam cerita hidupnya. Tidak lain karena mereka berdua adalah sebuah titik di luar diagram venn yang ada.

Surabaya, 17 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun