Ada kondektur yang berteriak dengan urat nadi hampir pecah, ada sang penumpang yang sudah lusuh letih, ada sang supir yang berkantung mata hitam legam bermuka bosan. Ada pedagang asongan yang mencoba hidup hanya dengan menjual dua tiga barang di tangan. Di dalam situ mungkin pengap karena semua berpeluh. Aku melihat menembus jendela, mendapatkan hasil rangsangan visual saraf saraf mata yang telah dirubah oleh otak menjadi suatu produk informasi bernama "pemandangan di bus seberang".
Apa yang salah? Tandatanyaku demikian lemah hingga bisa berubah menjadi penerimaan. Jendela ini harusnya memberikan pemandangan lain yg silih berganti. Ia tembus pandang dan memang harus demikian. Bukan memberikan gambaran kabur imajinasi yang sedang diresahkan. Benar jendela kan ini? Kenapa mataku berhenti menerima informasi? Kenapa otak salah mengolah data?
Kamu kah itu? Yang membuat jendela ini tidak berfungsi? Jendela yang harusnya memberikan keluasan pandang malah seperti hendak memaksa aku sadar, aku terkurung tapi mendapatkan fasilitas "hanya boleh melihat". Beruntungkah ini? Atau sial? Silakan menikmati apa yang tersuguhkan, dengan catatan hanya sebatas pandang! Siapa salah? Apa salah? Pandang? Mata? Sinapsis antar saraf? Pikirku kamu? Pikirku lagi, jelas aku.
Aku kemudian beranjak, menarik nafas sampai setengah, kemudian menutup jendela itu dengan hordin. Ini lebih baik bagiku. Pemandangan hanya mengantarkan aku kembali ke lamunan-lamunan dengan kata pembuka "jika". Hordin tertutup ini tidak bertingkah banyak seperti jendela yang membuat kita seakan bebas. Hordin ini bekerja baik, menyadarkan aku memang sedang terkurung. Â Seakan.
Bus yang aku tumpangi berhenti. Aku kira tujuan sudah ada di bawah kaki. Aku terpancing untuk melihat keluar. Hordin aku buka. Aku mendapatkan pemandangan lain. Sang kondektur yang tenang dengan uang recehnya. Penumpang yang segar tersenyum. Sang supir dengan kantung mata besarnya tapi bersemangat. Pedagang asongan yang gembira karena tangannya sudah kosong. Rangsangan visual ini kemudian diolah kembali oleh otak lewat listrik-listrik kecil di dalam tubuh dengan jaringan saraf menjadi satu informasi utuh bernama "akhir jalan bus seberang".
Rupanya tujuan memang sudah sampai. Walaupun untuk mereka ini rutinitas, mereka tetap merasa berbahagia saat penghujung jalan tiba, tetap dengan kadar yang berbeda. Perjalanan memang kadang tidak terlalu memikat dibanding destinasi yang sudah terjejak.
Jakarta, 22 Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H