Mohon tunggu...
Alfa Lubis
Alfa Lubis Mohon Tunggu... lainnya -

Sudah jinak dan tak lagi menggigit. Seharusnya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

309. Serangan Virus Kebersamaan

20 Desember 2011   04:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:01 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau sudah cerita kaji, agaknya banyak benar orang yang ahli di kantorku. Barangkali karena berembel-embel syariah, hingga orang-orang di dalamnya tak mau tampak bebal perkara kaji dan hal-hal seputar keislaman, yang entah sampai mana diamalkannya. Isu kebersamaan adalah salah satu isu favorit di kantorku. Utamanya kalau sudah menyangkut yang susah-susah atau hal-hal tak sedap, selalu saja isu ini mengemuka. Entah ke mana perginya isu ini kalau masih menyangkut kenikmatan atau kesenangan yang agaknya senantiasa dinikmati sendiri tanpa berbagi. Tak pernah kudengar misalnya ada orang yang mau membagi kepada rekan-rekannya saat sudah terima bonus tahunan atau insentif-hantu-belau, baunya saja tak sampai. Coba kalau sudah cerita susah, sebisanya seluruh kantor dilibatkan dalam masalah yang sebenarnya tak terlampau sukar untuk dapat ditanggulangi sendiri. Acapkali, masalah kebersamaan ini terasa mengganggu. Apa tidaknya, yang seharusnya tak menanggung, jadi kena juga. Beberapa kali aku yang notabene adalah seorang Pelaksana Back Office harus menanggungkan juga beban mencari pendanaan untuk target kantor yang tak pernah tercapai. Barangkali biar mudah, bebankan saja agar seluruh kepala yang ada di unit kerja bersangkutan turut pula mencari dana, atau bahkan mencari nasabah kredit. Mulai dari Marketer sampai office boy, semua kena. Lantas gunanya job description untuk apa, pikirku. Tanpa harus mencari dana pun, sejatinya kerjaanku sudah ampun-ampunan banyaknya, konon pula dibebankan dana, yang jumlahnya tak dapat dikatakan sedikit. Dengan pola kerja yang seharian di belakang meja, apakah harus kukorbankan waktu istirahatku di malam hari atau di hari libur untuk memprospek nasabah? Jadi istirahatku kapan? Umpan balik untukku apa? Kalau yang demikian dianggap wajar bahkan mutlak perlu, sepertinya memang tak seujung kuku pun aku menyesal mengundurkan diri. Kalau perusahaan ingin merekrut lembu untuk jadi pegawai, sungguh, tak usah cari lembu yang S-1, cari saja di peternakan. Tambah sedap saat dalil-dalil agama dilontarkan demi legitimasi isu kebersamaan sepihak tersebut. Siapa-siapa yang tampaknya tak sudi bersama atau agak-agak menjauh dari "lingkaran kebersamaan", segera saja beroleh stigma pembangkang, semi-pengkhianat, tak punya rasa persaudaraan, dan sebagainya. Dalam hatiku; untuk apa bersekutu dengan orang pandir-bengal. Orang pandir kalau penurut masih bisa diajar, orang pandir yang tak mau dengar cakap benar-benar memuakkan. Apa lacur, agaknya memang kalau kebersamaan itu hanya jadi isu belaka, tak bakal laku dijual. Kupikir yang membangkang aku saja, rupanya masih banyak sekutuku. Ini dapat dimaklumi mengingat penyimpangan dalam praktik kebersamaan ini dapat dirasakan sebenar-benar bahkan telah pula memberatkan sebagian orang yang tak bersangkut-paut. Hingga akhirnya kantor bak api dalam sekam saja; bagus di luar, membara di dalam. Terhidang berbagai gap di dalamnya, mulai dari Persekutuan Anu, Komunitas Itu, Kelompok Ini-Itu, atau Parsadaan Hantu-Belau. Aku sendiri tergabung dalam Persaudaraan Terjajah Selalu. Kantor yang tak seberapa besar, pada pojokan-pojokannya atau ruang-ruang sempitnya senantiasa menjadi tempat berkonsolidasi atau sekedar temu-ramah para anggota berbagai gap tersebut. Sering benar mendapati beberapa orang yang pastilah awalnya sedang berdiskusi mengenai suatu perkara, begitu kita yang tak sekelompok dengan mereka hadir, sontak diam atau segera mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Aku sendiri, kendati punya banyak sekutu, tetap saja berada pada kubu yang lemah kekuasaan sehingga sebisanya kami berupaya agar tembok jangan sampai punya kuping atau kaca jangan sampai punya mata. Bedanya, aku masih punya nyali untuk frontal--meskipun akhirnya kecundang juga. Sebagian rekan yang level jabatannya di bawah aku barangkali haruslah cukup puas menentang dalam hati saja. ***************************************************************** Salah seorang anggota Front Kebersamaan batuk-batuk. Entah kelelahan atau memang penyakitan, mendadak batuk ia bertubi-tubi pada saat pengajian bulanan di banking hall. Kebetulan aku tak mengikuti pengajian tersebut oleh karena pekerjaanku masih tumpuk-menumpuk jauh dari selesai. Esoknya, tanggal 24, mulai pagi hari kurasakan badanku agak meriang. Tenggorokan sakit, kepala pening, dan badan agak panas terasa. Bak pelengkap derita, datanglah tim audit beranggotakan tiga orang, tepat di hari itu. Alamak, apakah sakit orang pun mau diaudit juga, pikirku. Benar-benar orang yang salah di waktu yang salah. Audit tak basa-basi, segera beraksi. Aku tak tahan. Jam lima sore lebih sedikit, kurasakan kian kepalaku berputar, dan aku pun pulang ke rumah. Malamnya lebih gawat. Atas berlapis jaket, bawah celana panjang. Itupun masih menggigil. Semalaman aku sebentar-tidur-sebentar-tersentak. Antara sadar dan tidak kutau aku mengigau, mengerang-erang tahankan demam, memanggil nama-nama entah siapa, plus menceracau akan angsuran BB-ku. Peluh mengalir amat derasnya, sekujur tubuh basah kuyup. Sebentar tidur di atas kasur, bangun sudah di lantai. Dalam kondisi demikian rupa kurasakan Maut dapat menyergap sewaktu-waktu, dan aku tak punya siapa-siapa dalam kesendirian, mati pun kuyakin bangkaiku baru akan ditemukan setelah berbau. Esoknya kondisiku belum membaik, maka aku pun minta izin tak masuk kerja. Hari tanggal 25, bahkan aku tak hirau berapakah masuk gaji bulan itu ataukah lemburku bakal dibukukan lebih sedikit dari hitunganku seharusnya. Yang kutahu; minum obat dan melanjutkan istirahatku dalam genangan keringat dan kondisi tubuh yang terasa kian lemah. Malam hari barulah aku terbangun, panas sudah mereda namun kepala masih berat. Kudoakan agar tubuhku lekas pulih supaya esok hari dapat kerja kembali. Tanggal 26, keesokan harinya. Masuk aku seperti biasa dalam kondisi tubuh yang masih panas-dingin, namun setidaknya peningku mulai reda. Apa nak kata, empat orang rekan tak masuk kerja oleh sakit. Dan sampai jam dua belas siang, tiga orang lagi menyusul pulang, tak tahan di kondisi tubuh. Tujuh orang tumbang. Hanya mentalitas bodohku akan tanggung jawab di pekerjaan yang membuat semangatku naik barang sedikit, mampu tuntaskan kerja hari itu. Tim audit melongo saksikan formasi kami yang mendadak sumbang. Menjelang sore, salah seorang auditor bertanya di manakah apotek terdekat. Mau beli obat pula. Bah, selamat datang di Tebing Tinggi, Bung, pikirku. Seharian itu, seluruh personel yang tersisa plus para auditor--hendak tak hendak--terpaksa bermasker untuk sekedar melindungi diri dari udara kantor yang mendadak terasa jahanam. Tanggal 27, tiga orang lagi menyusul sakit. Genaplah sepuluh orang tak masuk kerja. Terasalah kantor amat lapangnya. Yang mencemaskan tentulah pelayanan kepada nasabah yang jelas-jelas terganggu karena kekurangan personel. Untunglah tak terlampau parah, masih dapat ditanggulangi. Tim audit tinggal dua, yang seorang tumbang pula. Benar-benar kantor celaka, pikirku, bukan hanya orang dalam melainkan pula tamu beroleh jamuan yang mengesankan. Senin tanggal 30. Satu-dua orang sakit mulai masuk kerja, itupun belum pulih benar. Semua yang sakit mengalami gejala yang sama: panas-dingin, meriang, flu, batuk-batuk, pusing, sampai muntah-muntah. Identik benar, hingga muncullah teori akan Serangan Virus Kebersamaan. "Tahu kau, Bang? Ini pasti kerjaan si Anu! Dari hari Senen pas pengajian kan dah batuk-batuk dia, bukan pulak ditutupnya mulutnya! Nular lah!" "Aiiihhh... Semua diajaknya bersama! Sakit pun diajaknya awak sama dia!" Entahlah, pikirku. Di saat isu kebersamaan itu mencuat, Tuhan berikan sakit yang entahkah pertanda, entahkah cobaan, ujian, azab, i'tibar atau apapun hakikatnya, kepada kami semua. Benar-benar sudah ditakdirkan. Ternyata, alih-alih merasa kian akrab atau memunculkan ikatan kebersamaan yang kian erat, malah menimbulkan kebencian kepada satu atau sebagian orang. Dapat dimaklumi sebab yang dapat menautkan kita satu sama lain adalah kesamaan cara pandang dan amal perbuatan, bukanlah jejalan teori yang acapkali jauh dari praktik apalagi hirarki intrakantor yang senantiasa menindas. Wacana kebersamaan yang tak diikuti oleh amalan nyata akan indahnya kebersamaan baiklah bawa saja ke tempat lain yang orang mau saja dengan bodoh menerimanya, karena ternyata kebersamaan itu masih jauh panggang dari api. ********************************* "Tidakkah kita semua menganut prinsip kebersamaan? Susah-senang sama dirasa! Bagaimana kalau engkau sekalian turut aku pula undur-diri dari perusahaan ini?!" Dan semuanya bungkam seribu bahasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun