Mohon tunggu...
Alfa Lubis
Alfa Lubis Mohon Tunggu... lainnya -

Sudah jinak dan tak lagi menggigit. Seharusnya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

307. 102 Vs 200

19 Desember 2011   14:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merupakan sebuah kebiasaan di kantorku untuk menyebutkan nama bagian-bagian di dalamnya dengan nomor, yang merupakan ekstensi telepon pada bagian yang bersangkutan. 0: Satpam 101: Frontliner (Customer Service dan Bagian Gadai) 102: Back Office 103: Teller 104: Operational Officer 201: Kredit Mikro 202: Kredit Komersial 200: Kepala Cabang Barangkali menyebutkan nomor terasa lebih keren atau elegan dibandingkan menyebut nama bagian, hingga lambat laun kami mulai terbiasa menyebutkan ekstensi teleponnya. Di satu sisi, yang demikian terkesan lebih santun dengan cara tak menyebut langsung nama bagiannya demi menghindari kesan eksplisit. Lebih etis, walaupun acapkali orang yang diajak bicara lupa, ekstensi nomor sekian bagian apakah. Barangkali sudah ditakdirkan bahwa orang-orang di 102 adalah mereka yang dalam kedinasan akan paling sering berbenturan dengan bagian lainnya... ******************************************************** Menjadi Back Office adalah pilihanku. Kalau hanya sekedar mengejar gaji yang lebih besar atau peluang karir yang lebih cemerlang, aku toh sudah dapat tawaran untuk berkarir sebagai Pelaksana Marketing. Kupastikan tawaran itu muncul dari hasil tesku--terutama psikotes yang agaknya menampakkan bakatku lebih ke bagian pemasaran daripada bagian operasional. Begitupun kutolak, dan lebih aku merasa nyaman di bagian operasional khususnya Back Office. Maka menjadilah aku Back office di sebuah unit kerja kecil, sebuah kantor cabang pembantu yang secara jumlah transaksi harian tak kalah dari cabang-cabang lainnya, walaupun dari segi nominal transaksi jelas kalah besar. Ibaratkan dalam satu hari transaksi di teller bisa mencapai dua ratus transaksi. Jumlah yang sama terjadi di Cabang Medan. Bedanya hanyalah; namanya juga di kampung, nominal per transaksi tak begitu besar, masih banyak nasabah yang setor-tarik hanya ratusan ribu sampai jutaan Rupiah manakala di cabang besar mampu mencapai jutaan hingga ratusan juta Rupiah. Kuibaratkan unit di tempat aku bekerja bagaikan daerah konflik atau zona merah. Jauh dari pengawasan cabang induk apalagi Kantor Pusat, adalah orang-orang di dalamnya mereka yang bertahan tersengal-sengal jalani hari. Urusan kerja, selalu saja unit kerja kecil mendapat tekanan yang berat sedangkan masalah hak dan kesejahteraan, praktiknya jauh panggang dari api. Kucontohkan masalah pengerjaan Laporan Bank Umum Syariah (LBUS). Pada dasarnya, laporan ini seharusnya dikerjakan oleh administrator cabang induk yang mengelola kantor-kantor cabang pembantu di bawah koordinasinya. Alasan lain adalah karena jatah pelatihan pengerjaan LBUS selalu saja diberikan kepada administrator cabang induk, sehingga seharusnya merekalah yang punya kompetensi dan kesanggupan dalam pengerjaannya. Kenyataannya, administrator cabang induk--entah buang badan atau apa--menyerahkan tugas pengerjaan tersebut kepada cabang pembantu termasuk unit kerjaku padahal di saat yang sama kami tak mendapatkan pelatihan apa-apa untuk pengerjaan LBUS. Hanya kami dapatkan pengetahuan dan teknis pengerjaan dari para senior sebelum kami, yang tentu saja jauh dari sistematis dan paripurna, serampangan saja. Bayangkanlah orang yang tanpa penguasaan mumpuni terhadap suatu hal dituntut mengerjakan hal yang bersangkutan secara sempurna--sesuai regulasi internal perbankan yang memuakkan, tak ubah umpan peluru yang dipaksa bertempur tanpa senjata. Kebodohan yang dipertahankan. Dan itu masih satu dinamika saja dari keseharian yang kujalani. Sedari awal sudah ditekankan kepadaku bahwa aku adalah benteng yang tak boleh runtuh, penjaga gawang yang tak boleh kebobolan karena selaku Back Office seharusnya aku mem-backup. Segala yang bersangkutan dengan roda operasional unit kerjaku mutlak menjadi bebanku, karenanya bersinggunganlah aku dengan semua bagian di kantorku. Diibaratkan bahwa pekerjaanku adalah bagian dapur sebuah kantor tempat segala hidangan berasal, karenanya lezat-tidaknya sebuah masakan tergantung kepada kepiawaian sang juru masak. Benteng yang kokoh sekaligus dapur, benar-benar sebuah analogi yang tepat untuk menimpakan beratnya tanggung-jawab ke pundak ringkihku. Itulah yang membentuk diriku selanjutnya. Idealis, tegas, keras, kaku, ortodoks, tak kenal kompromi, dan sebagainya yang mencitrakan diriku sebagai setan yang harus dibasmi. Apa boleh buat. Bekerja dengan orang lain adalah kumpulan dari banyak kepentingan yang tak senantiasa sejalan, karenanya selalu saja terjadi negosiasi-negosiasi yang bahkan tak bernilai apa-apa, tak melibatkan uang di dalamnya. Minta tolong, tawar-menawar, mengancam, mendiskreditkan, sampai mengadu adalah cara-cara yang kerap dilakukan agar terlaksana pekerjaan masing-masing. Dan dengan mentalitas yang kumiliki, selalu saja aku yang sial. Maksud hati hendak menegakkan peraturan, malah jadi pesakitan. "Payah kali berurusan sama kau!" "Apalagi rupanya syaratnya yang kurang?!" "Tolong lah Pak Anu ini didulukan..." "Kok gak bisa cair?!" Dan sebagainya. Sebenarnya aku bersyukur karena kotornya penyimpangan di dunia kerja tak mampu mengubah kelurusan hati dan keteguhanku berprinsip. Kalau yang bagus kucoba pertahankan, kalau yang buruk sebisanya kubuang. Menggeletar lututku ketika dahulu aku diangkat sumpah jabatan, bagiku sesuatu yang kulafazkan dalam Nama Tuhanku bukan main-main dan merupakan hidup-matiku. Heran aku kalau sumpah jabatan itu tak mampu membentuk orang jadi lebih baik atau jadi sebagaimana yang disumpahkan, lantas Nama Tuhan hanya gurauankah? Karenanya ketika berhadap beberapa orang yang terbiasa main samping atau memudah-mudahkan urusan, meradanglah aku. Kalau peraturan berbunyi A dan aku tau persis hukumnya memang A, jangan minta B kepadaku, apalagi C atau D. Yang demikian itu akan potensial memancing menggelegarnya suaraku atau wajahku berubah kejam atau gebrakan ke arah meja. Kau butuh lebih dari sekedar minta tolong agar aku berubah haluan. Itulah yang menyebabkan aku, dalam frekuensi yang tak dapat dikatakan jarang, berhadap dengan 200... ******* Perusahaan berjalan sesuai target. Dan beberapa bagian di sebuah perusahaan beroleh target individual. Aku bukan tak peduli target, namun tugasku adalah menegakkan peraturan. Bagi orang yang bekerja dengan target, aku menjengkelkan. Dan bagi orang yang memimpin sebuah unit kerja--yang juga ditarget, aku menghambat. Padahal apalah untungku menghambat-hambat orang? Bukan menambah gajiku. Hanya peraturan harus tegak berdiri, itu saja. Padahal kalau kuturuti semua lagu dan permintaan rekan kerja dan itu menyebabkan peraturan perusahaan runtuh, ketika audit berlangsung yang duluan dihajar aku juga, yang pernah minta tolong akan duduk diam dengan manisnya lantas sebisanya buang badan, cukup aku saja yang mampus. Kontrapemikiran--untuk menghindari istilah konflik--telah berlangsung sejak pertama kali aku bekerja dengan pimpinan yang lama. Dan makin meruncing di masa pimpinan baru. Entahlah. Kadangkala memang ada orang yang senang dengan diskusi dan tukar pikiran, mengakomodir kita agar berani berpikir, mengemukakan pikiran dan bertindak manakala sisanya lebih senang pantatnya dijilat dan hanya mendengar yang manis-manis saja. Entahlah. Dalam skala kecil yang demikian itu sama sekali tak jadi urusanku namun ketika seseorang telah mencapai level atas dalam sebuah struktur organisasi, konyol kurasa jikalau orang lebih mementingkan tembolok daripada berjalannya perusahaan. Seketika aku beroleh stigma pembangkang, dan segera saja hal-hal yang tak seharusnya terjadi, menjadilah... *************** Aku hendak dimutasi. Dan kurasakan sesuatu yang tak terlihat menghunjam ulu hatiku telak-telak, membuatku terpekur dalam denyut jantung yang demikian nyata terdengar kuping. "Apa salahku? Kurang bagaimana aku?" Seketika sesalan, amarah, kecewa, dan aneka macam perasaan campur-aduk. Aku tau aku bukan yang terbaik, hanya aku sekuat yang kubisa mencoba lakukan yang terbaik. Telah sampai terberak-berak dan termuntah-muntah aku bekerja selama ini, hadapi jejalan pekerjaan yang kulakoni sampai saat-saat orang lain telah mendengkur dengan pulasnya, wisata ke alam mimpi. Harus bagaimana lagi aku? Hancurkan apa yang telah kubangun, khianati apa yang telah diamanatkan kepadaku? Terlalu kakukah aku, ataukah aku tak mampu senangkan atasan? Jadi bagaimana tolok-ukur bekerja itu seharusnya? Mutasi itu perkara biasa. Menjadi tidak biasa ketika aku dengan masa dinasku yang baru sebentar yang seharusnya belum layak dimutasi sementara ada rekan bagian lain yang sudah empat tahun tak jua dimutasi, levelku yang seharusnya tak mewajibkan aku untuk mutasi, plus kinerjaku yang seharusnya masih dianggap kontribusi penting bagi unit kerja, harus berhadap mutasi. Tanpa kenaikan level, tanpa perubahan upah, bahkan tanpa tunjangan apapun. Mutasi seorang pembangkang, semudah campakkan kancut yang tak kausenangi ke tempat sampah. 102 versus 200... Aku bahkan tak pernah menganggap diriku gladiator yang coba runtuhkan Imperium atau Daud melawan Jalut, tak pernah sengaja berusaha mencitrakan diri sebagai idealis, hanyalah aku seorang yang mencoba jalankan kewajiban sebisa-bisanya. Dan kiranya memang terlampau aku lemah, senantiasa kecundang hadapi sistem. Hanya opsi yang kumiliki: lebur dengan sistem, atau keluar daripadanya. Aku pilih keluar. (NB. Sebuah keputusan kilat di malam Jumat.)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun