Mohon tunggu...
Alfa Lubis
Alfa Lubis Mohon Tunggu... lainnya -

Sudah jinak dan tak lagi menggigit. Seharusnya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

303. Berhenti Kerja Bukan Akhir, Melainkan Awal...

19 Desember 2011   10:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:03 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sekira dua puluh bulan, akhirnya aku mengundurkan diri juga dari pekerjaanku. Bukan tanpa alasan kuat ketika akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku saat ini. Padahal bekerja di bank syariah adalah sesuatu yang memang kuidamkan setelah sekira dua puluh delapan bulan kepengangguranku--yang menjadi awal berkecimpungnya aku dalam perkara tulis-menulis. Mengenang masa dua puluh bulan ke belakang laksana meletak besi panas ke atas paron lantas ayunan palu menempanya. Pengangguran bertitel Sarjana Hukum tanpa secuil pun basis perbankan--apalagi yang syariah--harus duduk hadapi transaksi-transaksi bernilai ratusan juta hingga milyaran Rupiah, jumlah yang sampai sekarang masih memulaskan perut atau memeningkan kepala jika ingat risiko kesalahan memrosesnya. Namun kala itu tiada jalan mundur karena masih aku teringat kontrak yang jika menilik salah satu pasalnya cukup bikin jantung berhenti berdenyut: "Apabila Pihak Kedua mengundurkan diri dalam jangka waktu perjanjian maka Pihak Kedua wajib mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkan Pihak Pertama untuk proses rekrutmen dan atau pelatihan." Bah, dari mana pula duitku mengganti penalti tersebut?! Karenanya selama masa kontrakku adalah saat-saat penuh tekanan dan kesabaran saat tekanan menghimpit. Tak butuh waktu lama bagiku untuk beradaptasi dengan sebuah lingkungan, pun tak butuh waktu lama untuk menyadari kejanggalan-kejanggalan dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Barangkali memang sudah tuah badanku mampu melihat hal-hal detil yang barangkali luput dari mata orang lain, hingga akhirnya aku stres sendiri saat aku tak mampu mengubahnya. Ketika awal bekerja, aku berharap memberi warna dan nuansa tersendiri alih-alih larut dalam warna dan nuansa yang sudah ada. Sebenarnya, tak sepenuhnya aku gagal, karena kehadiranku sebenarnya sudah menciptakan warna dan nuansa yang sayangnya, tak sedap dilihat dan dirasa oleh kebanyakan orang. Kaku, ortodoks, temperamental, ribet, sulit, tidak fleksibel dan sebagainya adalah reputasi yang harus kusandang kala aku dengan kejujuran dan ketaatan yang kucoba pertahankan harus berhadap realita dunia kerja yang cenderung praktis (baca: mempraktiskan). Hai, bikin KTP saja walaupun bayar tetap ada syarat dan prosedurnya, konon pula di perbankan yang terikat pada segudang regulasi dan tetek-bengek yang menyesakkan oleh karena rumitnya. Orang akan dengan mudahnya berkata bahwa di manapun bekerja dinamika akan tetap ada dan kita harus siap dengan hal itu, lebih lanjut mereka akan menghakimi bahwa aku lemah, tidak siap hadapi realita, dan tak punya jiwa bertahan yang kuat dari cobaan hidup. Tentu, aku tak pungkiri bahwa di manapun bekerja akan ada dinamika dan bahwa yang namanya perbankan dinamika dan risikonya akan sama saja--mau konvensional atau syariah. Hanya saja, barangkali di bank lain aku dibayar dua sampai tiga kali lipat dari upahku terakhir. Ini penting sebab kupikir pada dasarnya orang bekerja untuk kesejahteraan hidup (baca: uang), takkan ada yang bekerja murni demi ucapan terima kasih atau pujian kosong dari atasan yang jauh dari mengenyangkan lapar perut. Ada kondisi ideal untukku yang mampu membuatku menomorduakan minimnya gaji, semisal lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif, atasan bijaksana, rekan-rekan kerja yang bersahabat dan kooperatif, komputer dengan spesifikasi mutakhir, internet gratis pada jam istirahat, dan sebagainya. Maka ketika kondisi-kondisi ideal tersebut--salah satu, dua di antaranya, apalagi kombinasi dari seluruhnya--tak terpenuhi, ditambah pula upah yang jauh dari menyejahterakan, kupikir aku adalah orang yang sangat tolol jika masih bertahan tersengal-sengal, kerjakan rutinitas yang sudah tak masuk lagi di akal sambil saban tanggal 25 senyum kecut lihat saldo rekening. Apa yang harus kupertahankan? Mau bertahan sampai kapan jika kita sudah saksikan sendiri bagaimana sistem bekerja dan memperlakukan kita? Ikhlas. Sabar. Dua kata yang paling kubenci di saat aku punya argumen sendiri tentang bagaimana seharusnya aku bersikap. Sabar bukan hanya diam dan ikhlas bukan hanya menerima tanpa usaha. Lebih jauh, sabar pun tentu ada batasnya yang barangkali di tanganku lebih singkat masanya. Saat orang menuduhku tak sabaran atau enggan ikhlas, di saat yang sama justru aku berpendapat orang yang betah sabar bertahun-tahun adalah penakut yang tak punya nyali untuk bertindak ekstrim. Maka, tak lama setelah surat pengunduran diriku kuajukan, tantangan-tantangan atau reaksi negatif justru datang dari orang-orang dekat bahkan kedua orang tuaku. "Mau ke mana kau rupanya? Udah bagus di sini!" Kalau sudah bagus, apa iya aku keluar, Pintar?! "Kita ini bank yang sedang ekspansi besar-besaran, pertumbuhan paling pesat se-Indonesia, sayang kautinggalkan!" Oh, bank yang sedang ekspansi tentu akan mengefisiensikan biaya-biaya termasuk upah tenaga kerja, karena itu gaji pokokku lebih rendah dari guru SMP yang pulang jam empat sementara aku terengah-engah kerja sampai jam sembilan malam, bukan?! Omong-kosong. "Gajimu kan udah lumayan, kurang rupanya?!" Ah, macam dia saja yang merasakan hidupku. "Ikhlas, sabar. Engkau adalah mujahid ekonomi syariah, agen kemajuan peradaban Islam, seharusnya yang kaupikir adalah bagaimana memajukan perusahaan ini..." Ayolah! Jual saja dagelan itu di pengajian-orang-pandir, aku lebih cerdas dari yang bisa kaubodohi, Bajingan! "Yah, sudahlah kalau itu keputusanmu. Mudah-mudahan kau cepat dapat kerja lagi... Ayah cuma bisa bantu doa..." Doamu lebih dari cukup, Yah. Itu saja yang membuatku tahan didera hidup. Maka bulatlah sudah. Dan kembalilah aku pada masa kegelapanku, zaman jahiliyahku, kepengangguranku. Tiga hari pertama, streslah aku, kena sindroma-pasca-berhenti-kerja. Biasa sibuk, kini banyak lowongnya. Apalagi bulan puasa, mendadak hilang energiku, hari-hari tidur saja seharian. Apa boleh buat, konsekuensi dari keputusanku. Namun tak ku hilang harapan. Berhenti kerja bukan akhir segalanya, justru awal yang kuharap lebih baik. Jangan rendahkan Tuhan dengan pikiran-pikiran dan ketakutan-ketakutan yang kita ciptakan sendiri, karena di Tangan-Nya takdir, jodoh, rezeki, maut. Sedang kutu di kepala diizinkan-Nya hidup dan punya rezekinya sendiri, konon pula aku yang cakap fisik dan cakap akal, kenapa harus kutakut jalani hidup? Perkara berhenti kerja itu perkara biasa dan terlalu lumrah, bahkan orang bergaji sepuluh kali lipat aku, oleh suatu dan lain sebab, masih bisa mengundurkan diri, apalagi aku yang sudah tak betah dan bergaji sepersepuluhnya? Kenapa aku harus sebegitu loyal pada perusahaan yang tak royal? Kalau bajumu sempit, ganti bajumu yang lebih besar, jangan menyiksa dirimu agar kurus! Demi awal yang lebih baik. Sepenuhnya aku percaya akan ada esok yang cerah untukku, sebagaimana ikhtiar dan doaku. Memang senantiasa gelap menjelang terbit fajar... (NB. Ditulis beberapa hari setelah kembali ke kota Medan.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun