[caption id="attachment_359908" align="aligncenter" width="504" caption="(gambar: www.digaleri.com)"][/caption]
Dreeeett… Dreeeetttt…
Bunyi hape, bergetar. Tak jauh dari tempat tidur sang pemuda. Dengan sedikit terkaget ia melihat jam dinding dan segera mengangkat hape yang terus menerus berdendang di atas meja.
“Halo, Mas Ariedo.”
“Ya… Pak”
“Gimana Mas CPU saya?”
Ariedo pun kemudian menjelaskan permasalahan yang terjadi. Ia mengatakan sudah berusaha mati-matian namun hanya beberapa data saja yang bisa diselamatkan.
“Waduh gimana ya? Jam setengah delapan ini Mas saya tunggu di kantor ya?”
“Baik. Siap Pak.”
“Semoga data yang mas selamatkan kemarin adalah data yang saya butuhkan untuk rapat hari ini.”
Ariedo pun menutup telepon tersebut. Ia kemudian segera memindahkan data yang diminta ke dalam harddisk eksternal miliknya. Masih ada sekitar 45 menit sebelum waktu yang dijanjikan. Diambilnya jaket kulit hitam miliknya dan helm yang tergeletak di lantai. Ia pun segera memacu motornya menuju rumah Mbak Erni, pegawai yang bertugas menjaga tokonya.
Belum sampai motornya berhenti benar, seorang gadis kecil berusia 5 tahun berteriak kegirangan, melompat dan berlari mendekati motornya.
“Ayaaaahh…”
Ariedo tersenyum sambal melepas helm miliknya. Ia mengangkat puterinya dan meletakkannya dibagian depan motor. Didorongnya motor tersebut sampai tepat mencapai pelataran rumah Mbak Erni. Digendongnya puteri kecilnya itu dan diciuminya. Lintang hanya tertawa karena kegelian saat jenggot tipis milik ayahnya menyentuh pipinya yang merah.
Sudah dua hari Ariedo menitipkan putrinya itu pada Mbak Erni setiap malam. Maklum, jika ia tengah sibuk bekerja hingga larut malam, satu-satunya yang bisa diharapkan untuk menjaga Lintang adalah Mbak Erni. Untungnya Mbak Erni dan suaminya tidak keberatan untuk menjaga Lintang. Keduanya sangat menyukai anak-anak, apalagi menginjak tahun keempat pernikahan, mereka belum dikarunia momongan.
“Eh Mas Ariedo.”
“Udah sarapan mas?” Mas Yono, suami Mbak Erni, yang tengah menyiapkan dagangan sotonya tiba-tiba menghentikan kegiatannya.
“Belum sih, Mas. Tapi aku buru-buru’e”
“Lho mau kemana? Ini kan baru jam 7. Masih sempet lah makan dulu sebelum nganter Intan”
“Iya yah.. makan duru..” Lintang ikut menyeletuk dengan gaya bicaranya yang cadel.
Nggak tahan dengan keimutannya, Ariedo mencubit pelan pipi Lintang.
“Hahaha, ndak dulu ya Mas. Aku soalnya ada janji’e jam setengah 8 sama Pak Waluyo.”
“Mbak Erni mana mas?”
“Lagi mandi kaya’e Mas.”
“Oh ya udah, aku ambil intan ya Mas. Ini kunci toko, tolong kasihkan ke Mbak Win ya.”
“Matur nuwun lho mas.”
“Nggih sami-sami… aku lho malah seneng kalo Intan sering main ke sini.”
“Hahaha..”
Ariedo pun kemudian mengambil tas pink kecil bergambar barbie dan tas kresek berisi baju milik Lintang
“Mas No, aku berangkat dulu ya.”
“Nggih,, monggo-monggo.”
Intan bersalaman dan sempat ber-dadah ria sebelum pergi. Mereka pun beranjak menuju tempat pertemuan.
***
Baru saja Ariedo memarkir motor miliknya, beberapa orang berseragam cokelat-cokelat segera mengerubunginya.
“Mas Ariedo, ayo cepat.”
Para pegawai pemda itu rupanya sedemikian tak sabarnya menanti kedatangan Ariedo. Sesegera mungkin Ariedo berlari menuju ruangan Pak Waluyo.
“Mbak titip anak saya sebentar ya.” kata Ariedo pada salah seorang pegawai Pemda yang ia kenal.
Terdengar suara puterinya yang menangis sejadi-jadinya setelah ditinggalkan begitu saja oleh ayahnya.
Maafin Ayah, Ntan. Sabarlah beberapa saat disana
Pak Waluyo, kepala bagian keuangan, nampak kacau di dalam ruangannya. Begitu sosok Ariedo muncul, ia seolah-olah meloncat dari kursi yang didudukinya.
“Mana Do?”
Sesegera mungkin, Ariedo mengeluarkan hardisk dari dalam tas coklat army miliknya. Ia pun menancapkannya ke USB di komputer Pak Waluyo.
“Ini pak foldernya.”
Pak waluyo, segera memeriksa data-data yang berhasil diselamatkan Ariedo. Ia buka satu per satu dan menelitinya dengan seksama.
“Sip. Semua yang diperlukan ada.”
Ia pun kemudian memanggil stafnya. Diserahkannya hardisk eksternal Ariedo kepada perempuan tersebut dan menyuruhnya untuk segera menyusun bahan rapat.
Wajah lega mulai terpancar diwajah Pak Waluyo.
“Berkat kamu, saya masih selamat hari ini. Bisa-bisa saya dipecat jika rapat penting ini ditunda.”
“Hardisk kamu saya pinjam dulu sehari ini, boleh?”
“Boleh Pak. Silahkan digunakan sampai semuanya selesai di-copy.”
“Besok kamu ambil hardisknya sekaligus pembayaran dari kami.”
Ariedo hanya tertawa basa-basi mendengarnya.
“Oh ya Pak. Kalau boleh saya mau izin dulu. Anak saya menunggu di depan, mau saya antar ke sekolah.”
“Oh. Boleh-boleh… silahkan-silahkan. Maaf merepotkan Nak Edo.”
“Ndak apa-apa Pak. Kalo ada apa-apa, silahkan nanti hubungi saya saja.”
“Baik.. baik.”
Mereka pun tertawa terbahak sejenak dan saling bersalaman sebelum akhirnya mereka berpisah.
***
Intan yang tadinya menangis, kini terlihat asyik di depan televisi. Ia tertawa sendiri melihat film kartun beruang kesayangannya.
“Mbak Minah, makasih ya.”
“Nggak papa Mas Ari. Kalo nggak ada mas malah kami yang kelimpungan.”
“Ayah.. ayah… aku dikasih ini..” intan memamerkan susu cokelat botolan miliknya.