Gambar: yessigreena.wordpress.com
Dadaku terasa sempit. Sangat sesak terasa.
Bukan karena tagihan hutang yang datang dan tak pernah usai menghampiri. Bukan karena rumah ini akan tersita karena tak mampu membayar cicilan yang tak mampu terselesaikan. Bukan karena usaha yang kubangun seorang diri kini hilang tiada bersisa. Tapi karena kamu tak lagi ada di sisi, dan aku akan menemukan sosok lemahku ada di ujung sepi meratapi sendiri.
Mungkin kau mengira bahwa kaulah yang paling menderita selama ini. Mungkin kau hanya menganggap bahwa hanya kaulah seorang yang merasakan resah dan pedih atas keadaan ini. Dan mungkin kau akhirnya memutuskanku untuk menjemput sesuatu yang lebih indah disana.
"Semua akan baik-baik saja." katamu, padaku.
Suasana pagi yang berkabut dengan semburat jingga mentari datang menghampiri. Seharusnya suasana ini akan menjadi suasana yang hangat, tapi tidak kali ini.
Aku memaksakan diriku tersenyum. Bagaimana kamu sedemikian yakin bahwa perpisahan ini akan baik-baik saja untuk kita. Untuk dirimu, IYA! Tapi tidak untuk diriku. Kau mungkin akan senang, tak harus memikirkan beban hutang lagi. Kau mungkin akan bebas karena tak ada orang yang akan mencarimu, menagih cicilan-cicilan yang bertumpuk itu. Kau mungkin akan tertawa ber-haha hihi kembali tanpa memikirkan lagi nasib keluarga kecil kita ini.
Ya... kau akan baik-baik saja. Aku tahu itu setelah tiga tahun hidup bersamamu. Tapi bagaimana dengan aku? Sendirian melihat barang-barangku satu persatu pergi di ambil, Sendirian melihat penghasilan-penghasilanku hilang, untuk melunasi hutang-hutang, yang salah satu atau duanya adalah milikmu. Dan... pada akhirnya aku akan sendirian, melihat belakang punggungmu pergi dan meninggalkanku menderita sendiri.
***
Aku tenggelam dalam minuman-minumanku. Tenggelam dalam mabuk-mabukku. Berusaha melupakan semuanya. Hingga kemudian sampai pada satu titik, bahwa aku tidak bisa terus begini.
 Aku akan membangunnya semua sendiri. Sama seperti aku mengawali ini semua sebelumnya.