Tepukan tangan riuh riang menyambut kehadiranku. Dengan jas hitam, celana panjang keren dan kemeja berkelas, kumasuki panggung yang penuh terang itu. Aku menatap sekeliling dengan tatapan sedikit menyempit namun tajam. Spanduk-spanduk terpampang besar bertuliskan namaku. Pun para penggemar tak kunjung usai menyebut-nyebut namaku. Seluruh tiket konser tunggal di kota ini ludes dalam hitungan menit. Sejak hari pertama dibukanya pembelian tiket, ramai-ramai orang berebut dan memesan tiket secara online di suatu situs terkemuka di negara ini.
Maklum, baru beberapa bulan yang lalu aku mengikuti ajang pencarian idola di suatu stasiun televisi swasta. Aku ingat bulan-bulan yang penuh perjuangan kala itu. Dimulai dengan antrian ribuan massa untuk mengikuti seleksi awal. Hampir 8 jam aku berdiri menunggu giliranku tiba, mempertontonkan suara. Kami dikumpulkan dalam satu ruangan besar, sebuah aula yang cukup mewah dengan pendingin ruangan yang banyak didalamnya. Semuanya ribut. Penuh suara-suara yang berwarna. Ada satu dua yang dengan keren melentingkan suaranya kesana-kemari, mengundang decak kagum penonton lain di sekitarnya. Ada pula orang yang dengan nada dan genjrengan gitar seadanya, penuh percaya diri menyanyi keras-keras – hingga ia tak sadar bahwa telinga-telinga sekitar telah sengaja ditutup karenanya.
Penampilan para peserta pun boleh jadi beragam. Setidaknya penampilan peserta disini bisa digolongkan menjadi 3 kelompok. Kelompok yang pertama, adalah kelompok aduhai. Mereka memakai baju mahal, keren, rapid an bermerek, yang membuat mata memandang rasanya tidak jemu melihatnya berulang kali. Rerata anggota kelompok aduhai ini, memiliki wajah yang terawat, bersih,dan gaya tubuh yang menawan. Bahkan dari jarak 5-6 meter pun, kita bisa mengenali amggota kelompok aduhai ini - wangi parfumnya yang menyebar kemana-mana.
Kelompok kedua adalah kelompok asolole. Kelompok asolole ini, memang kelompok yang extraordinary, patut diacungi 4 jempol atas keberaniannya. Mengambil tema yang unik dalam berbusana adalah ciri-ciri mereka. Ada yang menggunakan kostum berbau heritage (seperti menggunakan baju bodo, kain ulos, sampai baju adat papua). Ada pula yang berbau nge-pung (ciri-ciri rambut njegrig –njegrig dengan kepala plontos disampingnya, tak lupa aksesoris yang amboi serentengan) sampai busana yang dari kelompok dunia lain (tidak perlu aku sebutkan seperti apa, tidak tega mengatakannya -___-“).
Nah, kelompok yang terakhir adalah kelompok icip-icip. Hehehe, kenapa aku bilang kelompok icip-icip karena rasanya kelompok ini adalah kelompok yang sepertinya paling tidak niat dalam berbusana. Saat kelompok lain menggunakan pakaian dan dandanan yang unik untuk memikat para juri, kelompok ini terkesan hanya ingin mencoba merasakan audisi saja. Mereka datang dengan penampilan yang super biasa, seolah tak ambil pusing apakah mereka akan diterima atau tidak. Yang penting sudah icip-icip dan dapat pengalaman.
Aku? Hahaha, aku termasuk kelompok yang ketiga yang memilih untuk tampil biasa seperti hari-hari biasanya. Aku datang dengan hanya dengan menggunakan celana Taek Won Do waktu SMA dulu dan baju putih sablonan sendiri yang bergambar Naruto. Sandal yang dipakai pun sandal biasa yang harganya nyaman di kantong, yang dibeli di toko swalayan dekat kampus.
Aku waktu itu sebenarnya sudah bekerja sebagai pegawai negeri, menjadi seorang staf di sekolah kedinasan milik pemerintah. Hanya saja selama 2 tahun itu, aku sedang mendapatkan tugas belajar untuk melanjutkan pendidikan. Karena itu, lumayan lah, kalau misalnya diterima dalam audisi ini dan gagal pun aku masih bisa bekerja di kantor yang lama.
Pukul 15.12, nomor antrianku dipanggil. Sebenarnya ini adalah kali pertama aku menunjukkan suara kepada orang lain. Selama ini, aku menyanyi hanya di kamar mandi saja, pun itu menggunakan handuk di mulut agar tidak terdengar orang lain. Sekitar 20 orang dipanggil, dan memasuki box-box kecil yang berisi juri penilai. Aku memasuki box nomor 15, di dalamnya ada seorang gadis yang mungkin seumuranku.
“Yak, silahkan menyanyi selama 30 detik.” kata juri itu. Aku menutup mata sejenak dan menghirup nafas. Mengumpulkan segenap perasaan pada laguku.
Sendiri..
Mananti mentari datang dan muncul kembali
Sendiri..
Menanti rembulan kan pergi hingga kegelapan
Tak muncul kembali…
Baru satu bait reff kunyanyikan, aku mendengar suara sesenggukan. Aku memutuskan menghentikan suaraku. Aku heran melihat gadis yang didepanku menangis dengan tersedu-sedu.
“Mbak... Nggak apa-apa?” kataku ragu.
Gadis itu hanya menutup mulut dengan tangannya. Selama beberapa menit, aku hanya terdiam karena bingung harus melakukan apa. Beberapa saat kemudian, seorang kru datang dan menenangkan gadis itu.
“Mas, mohon tunggu diluar sebentar.” Kata kru tv itu.
Entah apa yang mereka bicarakan. Selama beberapa menit aku menunggu di luar box, sambil berpikir jangan-jangan aku menyanyikan lagu yang menyinggung perasaannya. Kru tv itu pun datang dan menyalamiku.
“Baru pertama kali ini..”
“Eh?”
“Baru pertama kali ini, teman saya mendengar suara yang begitu menyayat hati. Ia benar-benar tidak kuat mendengarnya”
“Mas silahkan lanjutkan ke ruang tunggu di sebelah sana untuk bertemu dengan juri.”
“Semoga berhasil” katanya sambil menyalamiku.
Aku hanya nyengir mendengar perkataan staf itu. Tak mungkin lah aku berbesar kepala hanya karena pujian seorang juri awal. Jalanku masih panjang, tak elok jika aku terlalu cepat berpuas diri.
Di tahap selanjutnya, ada tiga juri yang siap menantiku. Ketiganya adalah pakar yang telah pontang-panting di jagad permusikan selama bertahun-tahun. Yang pertama adalah Bang Wegig, seorang pemilik rumah rekaman terkemuka. Kemudian Kak Juli, yang merupakan penyanyi wanita yang sukses merintis karirnya sejak anak-anak. Dan yang terakhir adalah Om Tera, seorang composer dan pencipta lagu terkenal di negeri ini.
“SIAP!” kataku pada diriku sendiri. Sepertinya aku belum menceritakan kalau ada satu kebiasaan yang aneh yang kumiliki kepada kalian. Aku kerap kali berbicara pada diriku sendiri, sekedar menyemangati atau untuk mengusir sepi. Entah sejak kapan, kebiasaan itu muncul. Tak perlu kukatakan kenapa, biarlah kalian yang menyimpulkan penyebabnya.
“Selamat siang.” Sapaku ramah, menunjukkan senyum terbaikku.
“Siang”
Mereka pun kemudian berbasa-basi dan sedikit mengerjaiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang konyol – menurutku. Aku hanya tersenyum dan menjaga emosi. Karena aku tahu bahwa sekali mentalku jatuh, maka akan terseret pula pada penampilannku.
“Mau menyanyi lagu apa?” Awalnya aku ingin menyanyikan lagu yang kunyanyikan tadi di depan. Tapi kuurungkan niatku dan kupilih lagu lain yang sedikit nge-beat.
“Baik silahkan dimulai”
When you’re looking for the star
There’s gonna be one
Always shine behind you
Always stand beside you
When you’re looking for the sun
There’s gonna be one
Always smile every time
Always watch you every time
Salah seorang juri pun menghentikanku dengan mengangankat tangannya. Aku pun kembali terdiam.
“Bagus… Saya suka.” Kata Kak Juli singkat
Bang Wegig yang ada di sebelahnya kemudian berkomentar, “Pilihan lagunya menurut saya kurang cocok dengan karakter vocal kamu, tapi lumayanlah untuk penampilan barusan. Harus banyak belajar.”
“Kamu jarang tampil di depan umum ya?”
Aku kemudian mengangguk kepada Om Tera. “Keliatan jelas dari gaya kamu yang masih sangat kaku menurut saya. Berusaha lagi ya.”
***
Langit sore kala itu tidak akan terlupakan. Begitu jingga.
Aku duduk di pelataran depan aula ini. Menutup mata dan merasakan angin yang begitu lembut menyentuh rona. Sayup-sayup kudengar adzan maghrib mulai terdengar.
Aku pun kemudian menatap tajam sekitaran alam. Kukepalkan tangan kananku.
Akan kumenangkan kompetisi ini dan akan kubalaskan dendamku.
***
*Lanjutan bagian dua besok ya.. :P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H