Part 2
Krida Budaya
[caption id="attachment_401228" align="aligncenter" width="480" caption="(gambar: log.viva.co.id)"][/caption]
Seperti biasanya, tiap malam kami semua berkumpul untuk mengadakan latihan wayang orang untuk pementasan sabtu malam. Sabtu malam ini, lakon yang akan dimainkan adalah lakon Petruk Nagih Janji. Lakon ini menceritakan tentang kisah Petruk, yang merupakan abdi (pembantu) Pandawa ingin menagih janjinya kepada Prabu Kresna. Prabu Kresna pernah berjanji kepada Petruk jika ia bisa mengalahkan pemberontak bernama Prabu Pergola Manik, dia akan dinikahkan dengan putrinya yaitu Dewi Prantawati. Namun ternyata janji tersebut tidak ditepati oleh Prabu Kresna. Ia malah menikahkan putrinya dengan Prabu Lesmana, yang merupakan keturunan Kurawa.
Ia pun marah dan berganti wujud menjadi seorang yang sakti bernama Bambang Sukma Nglembara. Singkat cerita, akhirnya Petruk berhasil menagih janjinya dan mempersunting Dewi Prantawati. Cerita ini merupakan cerita yang sangat sarat oleh makna, di mana seorang pemimpin harus menepati janji yang telah diucapkannya meskipun itu janji kepada seorang pembantu atau rakyat jelata. Jika tidak, suatu saat kelak rakyat tersebut akan menunjukkan kemarahan dan menagih janji yang telah diucapkan oleh pemimpin tersebut.
Seperti biasa, aku belum diberikan kesempatan untuk mendapatkan peran penting disini. Kali ini, aku hanya berperan sebagai pasukan dari Pandawa yang menghadapi Petruk saat mengacau di istana. Tapi gimana ya, namanya sudah menjadi kesenangan. Mendapat peran kecil pun sudah memberi kebahagiaan dan kegembiraan tersendiri.
“Ehm… Mohon perhatian semuanya…” kata pak Yuwono lantang kepada kami.
Kami yang tadinya sedang sibuk dengan latihan kami, terdiam dan menatap beliau. Di samping beliau ada seorang bapak yang nampaknya sepantaran dengan Pak Yuwono.
“Malam ini kita kedatangan tamu.”
“Beliau adalah Pak Seno, dari Kementerian Sekretariat Negara. Beliau ingin menyampaikan beberapa pengumuman untuk kita semua.”
“Ya.. Silahkan Pak..” kata Pak Yuwono, sambil mempersilahkan Pak Seno untuk maju.
“Selamat malam rekan-rekan semua.”
“Perkenalkan nama saya Antaseno, rekan-rekan bisa memanggil Seno saja. Disini saya merupakan wakil dari Kemensesneg, ingin menyampaikan beberapa pengumuman.”
“Beberapa minggu lagi, istana negara akan mendapatkan kunjungan dari tamu-tamu penting dari luar negeri. Terkait hal itu, kami mendapatkan mandat untuk mengadakan acara penyambutan. Dimana di acara tersebut, kami berniat untuk menampilkan tarian-tarian tradisional dari Jawa.”
“Karena itulah, kami ingin merekrut sejumlah orang untuk bisa menampilkan tarian tradisional tersebut. Jika rekan-rekan semua berkenan, silahkan besok malam jam 8 langsung saja datang ke Gedung Krida Budaya untuk mengikuti audisinya. Ada beberapa sanggar tari dan kelompok kesenian yang juga akan kami pilih untuk mengisi acara tersebut.”
“Mungkin itu saja pengumuman yang bisa saya sampaikan, terima kasih”
***
“Kamu ikut nggak Tyo?” tanyaku.
“Nggak dulu deh Di. Aku lagi nyusun skripsi ini, dua minggu lagi batas waktu pengumpulannya.”
“Oh ya sudah, duluan ya!”
Tidak semua orang di kelompok Satriatama ini yang bisa mengikuti pemilihan tersebut. Beberapa di antara kami, memang memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Ada yang sudah mendapatkan peran utama dalam pementasan dan harus fokus latihan. Ada pula yang sudah meneken janji dengan pihak lain. Macam-macamlah alasannya.
Aku pun berangkat bersama beberapa senior dan teman-teman menuju ke sana. Kami kemarin sudah janjian mau motoran ke sana. Setelah melaksanakan sholat maghrib, kami langsung cabut menuju Gedung Krida Budaya.
Sesampainya di gedung itu, kami sedikit terkejut mengetahui banyak orang yang mengikuti pemilihan pengisi acara ini. Ternyata banyak juga sanggar tari dan kelompok kesenian di Jakarta.
“Tenang saja. Kalau memang sudah rezeki, nggak akan kemana kok Di.” Kata Mas Abimanyu, salah seorang seniorku.
Kami semua pun dipersilahkan masuk dan duduk di sebuah aula besar. Beberapa saat kemudian Pak Seno datang dan memberikan pengarahan. Semua peserta akan dipanggil satu persatu untuk dinilai kualitas tariannya.
“Kamu mau nari apa Mas?”
“Aku nari wayang orang waktu latihan biasa aja. Lha wong nggak ada persiapan.”
Lega rasanya mendengar jawaban dari Mas Abi. Kukira cuma aku saja yang tidak mempersiapkan apa-apa ternyata yang lain juga sama saja.
Abdi Prapanca
Namaku disebut. Akupun masuk dengan sedikit gamang.
“Bismillah…”
***
Acara pemilihan itu baru selesai pukul 11 malam.
Aku sudah mencoba menampilkan yang terbaik yang aku bisa. Mengenai tembus atau tidaknya, ya itu masalah rejeki orang. Rencananya sih hari ini orang yang lolos pemilihan akan dihubungi langsung oleh pihak panitianya. Aku samapai tidak fokus mengerjakan pekerjaan di kantor. Beberapa kali sibuk mengalihkan pandangan ke arah hape. Berharap ada nomor tidak dikenal masuk dan memberikan kabar gembira.
“Kenapa kamu Di? Gelisah banget?”
Aku hanya tersenyum nyengir, hehehe, kepada teman di sebelahku.
“Biasa urusan anak muda Mas.”
Teleponku berdering. Aku melonjak dan segera melihatnya. Ah, ternyata Tyo yang menelepon.
“Halo Tyo.”
“Halo Di. Gimana kabar audisinya kemarin? Sukses nggak?”
“Belum tahu aku, Tyo. Katanya pengumumannya sih hari ini.”
“Ooh…” Tyo ber-ooh pelan.
“Ehm… Gini Di. Aku mau minta tolong ini..”
“Minta tolong apa?”
“Ini data buat skripsiku ada yang kurang, aku masih butuh data ini. Boleh minta tolong nggak buat bantu nyariin?”
“Oalah… Inggih-inggih.. Whatsapp aja data yang dibutuhkan apa. Nanti aku coba cariin.”
“Oke.. Makasih lho Di.”
Tyo, adalah salah satu pemain di Satriatama. Dia adalah anak muda seumuranku yang sedang menyusun skripsinya. Entah apa yang ia tulis, regresi berganda atau apalah itu, sesuatu yang rumit untukku. Aku membantunya untuk mencarikan data-data, karena kebetulan (atau memang dia sengaja?) tema yang dia ambil berhubungan langsung dengan kantorku. Yah, ndak ada salahnya bantu teman.
Baru saja aku akan beranjak dari mejaku untuk ke ruangan sebelah. Tiba-tiba hapeku berdering kembali. Nomor yang tidak kukenal.
(Jangan-jangan… )
“Halo, selamat siang.”
“Iya. Selamat siang.”
“Apa benar saat ini saya berbicara dengan Bapak Abdi Prapanca?”
“Iya benar. Ini dari siapa ya?”
(Aduh jangan-jangan… )
“Kami dari Bank Berdikari Pak, ingin menawarkan paket kartu kredit untuk Bapak. Bisa minta waktunya sebentar bapak?”
(Hadeuh, ternyata -_____-“)
***
Sore harinya aku menerima panggilan kembali, dan ternyata alhamdulillah, aku berhasil terpilih menjadi salah satu penari di acara istana negara tersebut. Luar biasa senang. Semoga ini bisa menjadi batu loncatan untukku agar bisa menjadi pemain wayang orang yang lebih baik lagi. Amin.
Cerita sebelumnya... klik disini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H