Bagian Satu
Kisah Orek Tempe
Aku ceritakan sebuah untaian-untaian kisah.
Yang terpisah.
Namun akan menjembatani menjadi sebuah makna
Jika kau mengerti.
***
Pagi. Sang pemuda kurus kering melihat kantong sakunya.
Tinggal sepuluh ribu rupiah.
Ia coba mengecek lagi kantong-kantong bajunya. Siapa tahu ada lembaran uang yang tersangkut di dalamnya. Namun ternyata hasilnya nihil.
Ia kemudian mencoba beralih pada selasar tas miliknya. Siapa tahu ada lembaran uang yang tersangkut di dalamnya. Namun, ternyata hasilnya nihil.
Ah. Tak patah arang sang pemuda itu mencari lembaran uang lain yang tersisa. Di lihatnya laci, tumpukan buku pinjaman dari perpustakaan, dan juga di bawah kasur busa tipis miliknya. Namun ternyata hasilnya sama. Nihil.
Memang tinggal sepuluh ribu uang yang dimiliki pemuda kurus.
Namun. untungnya ia masih memiliki stok beras yang dibelinya setiap awal bulan.
Biasanya ia membeli 5 liter beras setiap bulannya. Harga beras eceran termurah tentunya. Satu liter beras lumayan lah, bisa dikonsumsi selama 4-5 hari. Setiap satu harinya sang pemuda kurus biasanya menanak 1 cangkir beras untuk dimakan saat siang dan saat malam.
Biasanya sang pemuda kurus membeli tempe goreng atau bakwan untuk menemani nasi hangat buatannya. Satu biji harganya 500 rupiah, kalau dua berarti seribu rupiah.
Waktu ia ’gajian’ sebenarnya masih 10 hari lagi.
Dengan konsumsi seribu rupiah sehari, seharusnya uang sepuluh ribu yang dimilikinya masih bisa digunakan untuk mengganjal perutnya. Namun sayang, ada materi yang wajib difotokopi oleh mahasiswa. Satu fotokopian harganya lima ribu rupiah.
Biasanya sih, pemuda kurus tidak pernah ikut memfotokopi materi maupun tugas itu. Tapi, entah kenapa sang ketua kelas tiba-tiba saja memfotokopinya tanpa pernah mendiskusikannya dengan anak buahnya. Padahal 5 ribu yang kata teman-temannya adalah jumlah yang sepele, merupakan jumlah yang besar untuk pemuda kurus.
Sang pemuda kurus hanya bisa melamun,
Memandang fotokopian yang diterimanya, yang telah begitu tega merampas teman hidup nasi putih hangat miliknya.
***
Sang pemuda kurus berpikir dan berpikir. Mencari cara agar uang lima ribu yang dimilikinya bisa dimanfaatkan untuk membeli lauk guna 10 hari ke depan.
Awalnya ia sempat berpikir untuk membeli satu tempe goreng setiap harinya. Lima ratus rupiah untuk teman makan dua kali. Tapi ia urungkan kembali niatnya. Setidaknya ia harus punya cadangan dua ribu rupiah untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ‘gajian’ ia bulan ini terlambat beberapa hari.
Menimbang-nimbang dan memikirkan secara masak-masak. Sang pemuda kurus memutuskan untuk membeli orek tempe yang digoreng kering yang dijual di warung Mbah dekat kosan. Ia memilih untuk membeli orek tempe itu, karena orek tempe adalah lauk yang tahan selama beberapa hari. Menurut perkiraannya 10 hari, orek tersebut masih bisa bertahanlah.
Dengan senang hati, ia pun segera membeli orek tempe seharga tida ribu rupiah.
“Asik, masih bisa nyimpen dua ribu buat cadangan.” Pikirnya
Di bawanya bungkusan orek tempe itu ke kamar kos. Ditaruh di sebuah wadah plastik yang kira-kira kedap udara dan bisa menjauhkan sang orek dari semut.
Tak sabar, ia pun mengambil piring dan mengambil nasi yang telah ditanaknya.
Diambilnya sepuluh butir orek satu kali makan.
***
Di kala makan, sang pemuda kurus teringat akan kampungnya.
Bapak sang pemuda kurus hanya pekerja serabutan, kuli bangunan. Sang ibu turut membantu sang Bapak untuk mencari nafkah. Diterimanya cucian-cucian, di bersihkannya rumah-rumah tetangganya hanya dengan upah seadanya.
Walaupun hidup serba kekurangan di kampung. Tapi setidaknya, selalu ada masakan yang lezat yang tersedia di meja. Sang Ibu pemuda kurus dengan telaten memasak nasi goreng bumbu bawang dan garam. Walau tanpa lauk, entah kenapa rasanya begitu nikmat. Snag ibu juga pandai meracik sayur asem dan tempe goreng yang luar biasa enaknya. Setidaknya itulah makanan terenak yang bisa disajikan oleh sang ibu kepada anak-anaknya.
Sang pemuda kurus dan kakaknya tidak pernah rewel dengan masakan itu. Tentu saja mereka telah dewasa dan mengerti keadaan hidup orang tua mereka. Tanpa banyak mengeluh, langsung hajar masakan sang ibu. Tapi sang adik dari pemuda kurus kadang suka ngambek.
Kok gitu-gitu aja sih masakannya
Sang ibu, sang kakak dan sang pemuda kurus, biasanya menjelaskan ini itu. Namun sang adik yang belum mengerti, mengakhiri percakapan tersebut dengan tangisan. Tapi karena lapar, ya ujung-ujungnya dimakan juga oleh sang adik pemuda kurus.
Sang pemuda kurus, tersenyum mengingatnya. Ia rindu nasi goreng bawang dan garam buatan ibunya. Ia rindu sayur asam dan tempe hangat yang selalu tersedia saat ia pulang dari sekolah.
Sang pemuda kurus tersenyum… sambil menyantap nasi putih hangat dan beberapa butir orek tempe yang dibelinya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H