Mohon tunggu...
Syahdan Adhyasta
Syahdan Adhyasta Mohon Tunggu... Administrasi - Profil

Hidup ini bagaikan sebuah lautan, dan kitalah nelayan yang sedang mengarunginya.. Sejauh apapun kita melaut, pasti akan ada masa dimana kita harus kembali ke daratan tempat kita berasal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akulah Luka

12 Maret 2014   23:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lah luka, jika engkau tahu mengapa.

Aku lah guratan duka, jika engkau tahu bagaimana.

Dan akulah terobek masa, jika engkau tahu berapa.

Ya… akulah luka.

Meski engkau tak pernah tahu pertanyaan ada.

***



Aku kembali.

Entah sudah berapa puluh kembangan sabit terlewati. Entah sudah berapa jauh jengkal langkah yang telah terukiri. Hingga aku lelah dan memutuskan untuk kembali.

Aku tahu… tahu dengan benar bahwa di kota ini yang ada hampa.

Aku tahu.. tahu dengan benar bahwa di jalan ini hanya menyerta sakit yang selama ini kucoba lupa.

Dan aku tahu.. tahu dengan benar bahwa tiap volume udara yang menyebar hanya berisi tanpa.

Ya… aku tahu…

***

Aku kembali menyapa senja.

“Hai..”

Dan ia hanya terdiam di ujung sana. Aku tersenyum.

Senja masih sama seperti dulu. Tetap terdiam dan termangu menyaksikan aku.

Aku pun kembali menyapa awan.

“Sore…”

Dan ia hanya menatapku. Dingin. Berarak pergi tanpa makna.

Dan aku kembali tersenyum


Di kota ini, aku tak pernah memiliki siapa-siapa. Hanya senja dan awan yang akan kusapa saat aku datang. Aku senyum tapi duka, mengulum rindu akan angin yang bertiup di sini. Aku tertawa dan bersama tapi aku tahu aku nanar dan terasingkan.

Ini bukan tempatku kembali.. dan aku tahu itu.

Satu-satunya alasanku kemari hanyalah kamu. Tanpa kamu tahu, itulah kamu.

Masih lekat ingatanku akan 20, ketika kita bersama menjerang senja dan melangkah bersama menuju tempat mengaji bersama. Aku 10 dan kamu 10. Mengenal dunia lewat pembelajaran ustadz kampung kita. Berjalan bersama dan tertawa cekikikan atas kejadian di sekolah maupun apa yang ada di rumah.

Masih lekat ingatanku akan 15, ketika kita menggulung cerita sekolah dengan penuh ceria. Aku 15 dan kamu 15. Mencoba mencari jati diri dan jalan depan masa yang menanti. Menunggang besi dan memutar ban bersama setiap pagi menjaring mimpi.

Dan masih lekat ingatanku akan 10, ketika aku memutuskan pergi dan kamu memutuskan tinggal di sini. Aku berjanji akan kembali. Kamu mengangguk dan melingkarkan kelingking bersama. Aku 20 dan kamu 20, ketika senja memutar jangka memisahkan kita di dua tempat yang berbeda.

Terakhir…

Aku bertemu denganmu pada 5. Beberapa hari saja. Engkau senyum dan aku luka. Aku kembali ke kota ini, dengan terpaksa. Aku 25 dan kamu 25. Mengakhiri semua harap akan impi ku yang pernah ada.

***

Kau dan arjunamu datang. Menjemputku.

Bersama seorang malaikat kecil yang 2 telah hadir menemanimu. Aku tersenyum. Menyapa malaikatmu dan menggendongnya yang belum pandai benar berjalan ke arahku.

Aku tersenyum, namun luka.

Melihatmu bersama kebahagiaanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun