Isenk-isenk ngutip sebuah artikel yang berjudul "Berjuang untuk bahagia" dari buku "Bahagia Mendidik, Mendidik Bahagia" karya Ida S. Widayanti.
[caption id="attachment_358413" align="aligncenter" width="400" caption="(gambar dari http://cerpen.gen22.net)"][/caption]
"APAKAH PERNIKAHAN itu bagaikan bara api, yang meski panas membakar tangan mesti tetap ada dalam genggaman?'
Demikian bunyi sebuah pesa singkat seorang ibu muda yang dikirimkan kepada sahabatnya. Sang sahabat yang meski bertempat tinggal jauh ribuan kilometer menangka getaran kepahitan yang dirasakan oleh teman lamanya itu. SMS itu bukan yang pertama kali. Pesan sebelumnya pun bernada hampir sama yang intinya, si ibu muda itu tak lagi bersemangat menjalani kehidupan pernikahannya dengan suami.
Si ibu muda itu tak sendirian, begitu banyak di sekeliling kita,di antara teman-teman, saudara-saudara, tetangga bahkan di novel-novel dan film-film yang terlibat dalam kisah hidup yang tak jauh berbeda. Sumber dan kadar permasalahannnya tentu berbeda-beda namun pada intinya sama, seorang wanita merasa terjebak dalam kungkungan perkawinan dan dia merasa serba salah untuk mengambil langkah. Berada terus dalam ikatan pernikahan berarti membiarkan diri terus merasalan beban dan derita. Memberontak terhadap ikatan, berarti menimbulkan masalah baru. Hidup membesarkan anak-anak tanpa suami adalah masalah baru yang tak kalah mengerikannya.
Lalu bagaimana mengatasi masalah ini? Sebagian menggugat cerai pada sang suami, sebagaimana yang banyak kita temui di media massa. Sebagian lagi membiarkan masalahnya menggantung karena membuka masalah keluarga berarti membuka aib sendiri. Kmudian menunggu invisible hands(tangan tak terlihat) datang dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Mungkin sebagian lagi berjuang sekuat tenaga dan segenap kesabaran merawat pernikahannya agar senantiasa sakinah, mawadah wa rahmah.
Pilihan mana yang terbaik bagi setiap pasangan? Tentu jawabannya sangat tidak sederhana, berbeda-beda tergantung permasalahannya. Namun satu hal yang penting bahwa ketika layar perahu rumah tangga telah terkembang, lautan tak selalu tenang. Ombak, gelombang, bahkan hujan badai kerap menerpa biduk rumahtangga. Sebagian bisa mengatasi bersama berbagai aral, hingga sampai di pulau impian. Namun tak sedikit yang kandas, mungkin batu karang begitu kuat menghadang.
Mudah ditebak siapa yang paling sering menjadi korban. Anak-anak. Begitu sepasang insan menikah dan memiliki keturunan, permasalahan tak lagi hanya antara "kau" dan "aku". Anak-anak dengan segala kebutuhan perlindungan fisik, emosional dan spiritual sangat rentan dengan kondisi ikatan pernikahan yang rapuh.
Seorang ulama yang cukup terkenal di Bali yang sudah berusia hampir 90 tahun, mengtakan bahwa lebih penting memperingati ulang tahun pernikahan daripada ulang tahun kelahiran. Menurutnya umur seseorang sudah di tentukan, sehingga bertambahnya bilangan umur bukanlah suatu keberhasilan yang perlu dirayakan. Namun pernikahan adalah sebuah perjuangan, berhasil mempertahankan detik-demi detik umur perkawinan adalah sebuah keberhasilan. Karena itulah hingga usia pernikahan yang telah melampaui usia pernikahan emas, sang kakek tetap merayakan ulang tahun pernikahan dengan anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicitnya.
Begitulah, kebahagian pernikahan tidak turun dari langit dengan serta merta, namun butuh upaya dan usaha dari kedua belah pihak untuk menjadikan pernikahannya sebuah surga di kehidupan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H