Mohon tunggu...
Syahdan Adhyasta
Syahdan Adhyasta Mohon Tunggu... Administrasi - Profil

Hidup ini bagaikan sebuah lautan, dan kitalah nelayan yang sedang mengarunginya.. Sejauh apapun kita melaut, pasti akan ada masa dimana kita harus kembali ke daratan tempat kita berasal.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pemimpin? Baca Ini...

23 Januari 2015   13:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:32 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421969847828585916

[caption id="attachment_392741" align="aligncenter" width="417" caption="(gambar: blog.internetdr.com)"][/caption]

Dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki, saya mencoba menguraikan tentang beratnya menjadi seorang pemimpin. (Ah, entah mimpi apa saya semalam kok mau nulis beginian). Seumur-umur jadi pemimpin cuma waktu ditunjuk jadi ketua kelas waktu SD kelas 5 dulu. Berani-beraninya nyeramahin orang… Hehehe… Nggak apa-apa lah, namanya juga orang hidup ya. Kita harus saling mengingatkan dan menasehati biar kalo jalan nggak serong-serong banget lah dari jalan yang lurus.

Jadi ceritanya, setelah bangun tidur saya selalu mengecek kondisi teman hidup saya (baca: hape, pedihnya jadi seorang jomblowan..T___T). Iseng-iseng buka facebook, liat berita apa disana. Banyak sih yang nge-share kebijakan-kebijakan kontroversial, yang tidak mau saya sebutkan. Saya jadi berpikir, ternyata memang berat ya jadi pemimpin.

Dulu waktu saya SD jadi ketua kelas, saya selalu disuruh ngambil kapur, fotokopi sampai menghapus papan tulis. Hingga kadang saya mikir, saya ini ketua kelas atau jonggos ya. Hadeuh -____-“. Berat lah menjadi pemimpin itu, kita harus siap melakukan apa yang tidak orang lain lakukan. Bertanggung jawab agar amanah yang kita emban bisa terwujud. #ceileh… baru ketua kelas aja bisa ngomong kek gini. Wkwkwk..

Ya.. kalo hidup, terus mati dengan tenang sih nggak masalah ya Bro. Tapi sayangnya, setelah nyawa kita yang cuma satu-satunya ndak ada, kita semua pasti dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita lakuin. (Aduh, jadi inget sebulan ini bukannya bikin skripsi malah nge-game T___T). Begitu juga para pemimpin kita.

Saya bayangin ya, betapa powerfulnya satu kata dari seorang pemimpin dalam mengubah kehidupan masyarakat. Satu kata aja.. bayangkan satu kata saja bisa mengubah kehidupan jutaan orang. Bayangkan jika seorang pemimpin mengatakan “Perang”, maka jutaan orang harus ikut berperang dan terkena dampaknya. Bayangkan jika seorang pemimpin mengatakan “Bantu”, maka  akan terbantulah kehidupan orang-orang yang menerima bantuan itu. Ngeri banget pokoknya kekuatan kata dari seorang pemimpin itu. Betapa menakutkannya kekuatan “satu kata” dari seorang pemimpin yang bisa mengubah kehidupan ribuan, jutaan, bahkan milyaran manusia yang ada di bumi ini..

Tapi ya gitu… Yang namanya hidup, kita kan harus bikin pertanggungjawaban di akhirnya. Ke-powerful-an kata dari seorang pemimpin, tentu diiringi sebuah pertanggungjawaban yang berat pula. Ia akan ditanya mengenai perkara atas hal yang menyangkut orang yang dipimpinnya. Kita ambil permisalan yang simple-simple aja deh, pengusaha kerupuk. Seorang pengusaha kerupuk sengaja menunda pembayaran gaji selama seminggu kepada pekerjanya, sehingga pekerja dan keluarganya tidak bisa makan selama beberapa hari. Nah lho! Ini baru sebuah keputusan kecil lho. Tapi ini menyangkut kehidupan beberapa orang dan saya yakin akan dimintai pertanggungjawaban pula lho.

Bayangkan! Kalau itu adalah sebuah keputusan dari seorang pemimpin besar yang mengampu ribuan bahkan jutaan orang. Satu keputusan tentang kebaikan akan mendatangkan benih pahala yang tidak terkira jumlahnya dari orang yang diampunya. Sebaliknya, satu keputusan yang menjurus pada keburukan, akan mendapatkan balasan yang sama atas dampak keputusan yang telah diambilnya. Nggak bisa bayangin jutaan orang meminta balasan yang setimpal atas keputusan yang diambil seorang pemimpin di akhirat kelak.

Karena itu, nggak heran kalau kita denger cerita kalau sahabat Nabi banyak yang menangis ketika diamanahi sebuah jabatan. Karena mereka tahu bahwa sebuah jabatan juga diiringi tanggung jawab yang besar pula. Jabatan akan menjadi sumber kebaikannya, atau malah menjadi sumber keburukan bagi dirinya. Nggak seperti jaman sekarang ya, banyak yang pengen jadi pemimpin hanya karena alasan harta maupun mencari ketenaran.  T___T miris gan.

Jadi inget kisah Umar bin Khattab, yang menangis tersedu-sedu saat mengetahui ada seorang ibu di kalangan rakyatnya yang masih miskin dan memasak batu-batu untuk menghibur anaknya yang kelaparan.Semoga di Indonesia tidak ada lagi ibu-ibu yang memasak batu-batu untuk membohongi anak-anaknya yang kelaparan. Amiin. Yah, minimal, pemimpinnya nangis lah kalo tahu masih ada hal seperti itu.

Intinya ya, kalau kita diberi kepercayaan sama orang, ya lakukan dengan baik. Harus hati-hati kalo suatu saat kita menjadi pemimpin. Ya.. inilah sepatah dua kata dari mantan ketua kelas 5 SD dulu, yang minim pengalaman. Tulisan ini tidak lain dan tidak bukan, sebagai pengingat bagi diri saya sendiri. Syukur-syukur kalo ada yang bisa mengambil hikmahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun