Mohon tunggu...
Alex R. Nainggolan
Alex R. Nainggolan Mohon Tunggu... -

Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Sabili, Annida, Matabaca, Surabaya News, Radar Surabaya, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, Radar Surabaya, NOVA, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, dll. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila. Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Ini Sirkus Senyum...(Bumi Manusia, 2002), Elegi Gerimis Pagi (KSI, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi (KOMPAS, 2003), Muli (DKL, 2003), Dari Zefir Sampai Puncak Fujiyama (CWI, Depdiknas, 2004), La Runduma (CWI & Menpora RI, 2005), 5,9 Skala Ritcher (KSI & Bentang Pustaka, 2006), Negeri Cincin Api (Lesbumi NU, 2011), Akulah Musi (PPN V, Palembang 2011). Buku kumpulan cerita pendeknya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012). Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah di antaranya: Radar Lampung (Juara III, 2003), Majalah Sagang-Riau (Juara I, 2003), Juara III Lomba Penulisan cerpen se-SumbagSel yang digelar ROIS FE Unila (2004), nominasi Festival Kreativitas Pemuda yang digelar CWI Jakarta(2004 & 2005). Bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tanpa Lagu

20 April 2012   16:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:21 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tanpa Lagu

1.

mungkin telah kaulupakan

bagaimana aku tertatih menjemputmu

di masalalu

menguliti malam yang tumbuh di sepanjang ranjang

dan kausibuk menjumlahkan segala gagal

yang telah lama terpanggul di tubuhku

2.

cuma malam merangkak

selebihnya sunyi dingin

ketakutan yang congkak

dan sejarah terpilin

3.

kau bergerak tanpa lagu

juga senyum beku

yang pudar di bibir

4.

entah dengan cara apa aku mesti menciummu?

ketika ragu menumpuk

dan kita serasa kutuk

menempuh semua upacara ganjil

di tengah gerung rindu yang gigil

5.

seperti biasa

aku termenung di kafe ini

sunyipun merayap

tanpa lagu yang berdenting

aku yang kehilangan

2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun