[caption id="attachment_149051" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Beberapa waktu yang lalu, pada salah satu acara peluncuran ORI 008 yang diselenggarakan oleh salah satu bank kepada para nasabah prioritasnya, salah seorang ekonom terkemuka yang kebetulan bekerja di bank tersebut sesumbar bahwa Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat, tidak akan terjadi ekonomi kita kolaps seperti Amerika dan Eropa. Saya pribadi, saat itu sangat menyayangkan statement demikian. Karena pada tahun 2008, kita nyaris bangkrut andai kata The Fed dan pemerintah Amerika tidak buru-buru mengambil kebijakan moneter yang ekstrim untuk membatasi kejatuhan akibat efek domino dari Subprime Mortgage. Saat itu rupiah sudah terkulai ke level 12 ribu, dan bahkan beberapa petinggi bank sentral sudah panik mencari talangan akibat operasi pasar uang yang nyaris gagal. Perlu diingat, bahwa, tanpa dana talangan dalam bentuk Obligasi Rekap, semua bank di Indonesia sudah habis, tidak ada lagi sisanya kecuali bank-bank asing. Hingga tahun 2003, secara metode Altman Z Score, perbankan di Indonesia masih termasuk kategori default/gagal. Bersyukurlah penilaian gagal tidaknya  bank di negara ini tidak menggunakan metode pengukuran demikian yang lazim dipakai untuk mengukur gagal bayar suatu obligasi. Saat ini, kondisi ekonomi global, belum benar-benar pulih, bahkan jika menggunakan pengukuran analisa tehnikal, kita justru baru memasuki babak baru dari gelombang badai yang lebih besar lagi. Pemulihan bursa dari kejatuhan yang mengagetkan di bulan Oktober, tidak serta merta mencerminkan adanya sinyal pembalikan arah menjadi optimis. Namun baru sebatas tahap tehnical rebound terbatas, sama seperti efek bola yang melambung ke atas saat jatuh membentur tanah. Jalan panjang pemulihan ekonomi masih panjang, sementara di sisi lain mark up berbagai mega proyek di tanah air melalui korupsi terstruktur dan terorganisir masih terus berjalan, padahal semua itu dibiayai oleh uang negara dan sebagian besar berasal dari hutang-hutang jangka panjang. Padahal kita seharusnya malu dan bercermin dari kegagalan Yunani yang akhirnya bangkrut karena terlalu jor-joran menghamburkan uang saat penyelenggaraan olimpiade. Berdasarkan publikasi dari CIA mengenai hutang luar negeri Indonesia, saat ini telah mencapai USD 196.1 Billion (per 31 Desember 2010)  naik dari USD 172.9 Billion di tahun sebelumnya. Memang jika dibandingkan dengan GDP hutang tersebut belum mengkhawatirkan, masih terbilang aman, bahkan membaik dari 26.4% di tahun 2009 menjadi 25.7% di tahun 2010. Namun kita tidak boleh lupa, bahwa GDP kita digerakan oleh hanya sekitar maksimum 10 persen dari keseluruhan penduduk. Artinya, kesenjangan sosial dan kemampuan menggerakan perekonomian masih dikuasai oleh orang yang itu-itu saja. Apa jadinya jika kekuatan yang 10 persen itu tiba-tiba mengamankan semua assetnya kembali ke luar negeri seperti yang terjadi pada periode tahun 1997-1999. Karena rata-rata para pemilik modal sudah mengetahui kejatuhan baik ekonomi maupun politik sebelum kejatuhan itu terjadi. Saat ini krisis hutang Yunani sudah menjalar ke Spanyol dan Italia, bahkan telah menyebabkan banyak terjadinya guncangan-guncangan politik di sana tidak hanya ekonomi. Efek domino akibat krisis hutang negara barat telah menjalar ke mana-mana. Jika situasi dan kondisi semakin memburuk (dan saya pikir kondisi tidak akan benar-benar membaik dalam waktu dekat) akibatnya bisa sangat fatal, kepanikan pasar yang terjadi beberapa waktu yang lalu dengan tumbangnya IHSG sampai nyaris 10 persen dalam sehari, bisa terjadi lagi, bahkan bisa lebih seram lagi. Sementara di sisi lain, orang-orang yang seharusnya perduli dengan kondisi ini, justru berlomba-lomba sibuk dengan penggalangan dana dan kekuatan politik guna persiapan kampanye di tahun 2014. Sungguh sangat ironis, apalagi kritikan moral dari lembaga semacam KPK justru ditanggapi secara negatif dan emosional oleh sebagian pihak. Hal ini bisa menjadi bumerang, karena jika kondisi politik dan pemerintahan yang kotor dan korup ini terus dibiarkan berlarut-larut, sementara badai tsunami ekonomi di luar sudah semakin membesar, maka kegagalan suatu negara hanya tinggal tunggu hitungan waktu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H