Mohon tunggu...
Pendekar Saham
Pendekar Saham Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial, Politik, Pendidikan, Teknologi

managecon.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kejatuhan Rating PIIGS, Quo Vadis Uni Eropa?

8 Oktober 2011   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:12 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika masih ada pembaca yang ingat, bahwa kami pernah menuliskan artikel berikut ini "Eropa Pasca Kejatuhan Yunani dan Portugal" tentu apa yang terjadi sekarang ini bukan hal yang aneh dan mengejutkan. Artikel yang kami tulis lebih dari setahun yang lalu itu, ternyata masih berujung panjang. Ternyata bantuan pinjaman dari Uni Eropa terhadap Yunani tidak menyelesaikan masalah, bahkan semakin lama semakin memberatkan keutuhan Uni Eropa sebagai suatu kesatuan Ekonomi.

Kemarin malam, bursa Amerika diterjang kepanikan, sesudah kredit rating sebagian besar negara-negara PIIGS (Portugal - Irlandia - Italy - Greek - Spain) yang merupakan kawasan Eropa Selatan diturunkan. Sebenarnya, para pemain bursa tidak perlu kaget atau panik, karena hal itu sudah jauh hari bisa diramalkan, sebab esensi terpenting dari suatu ketahanan ekonomi negara adalah pada kekuatan industrinya. Negara-negara anggota Uni Eropa yang bermasalah tersebut sudah lama sebenarnya kalah dalam perang industri. Praktis Industri di Eropa mayoritas dikuasai oleh Jerman, dan Perancis serta mungkin Inggris. Prancis sendiri sebenarnya tidak begitu kuat daya saing industrinya, akan tetapi industri finansialnya masih cukup kuat untuk menopang ketahanan ekonomi mereka.

Namun begitu orang sering melupakan hal-hal fundamental tersebut. Bahkan negara-negara yang tidak memiliki daya saing industri yang kuat itu, sering lupa diri dan menerbitkan surat hutang melampaui daya bayar mereka, ibarat orang memiliki kartu kredit kelas Infinite akan tetapi gajinya hanya kelas PTKP, jelas hal seperti ini bisa mengakibatkan kiamat ekonomi dalam keberlangsungan hidup suatu negara.

Lebih celaka lagi, jika negara-negara yang bermasalah itu terkait dalam suatu kesatuan tatanan ekonomi kawasan, yang melibatkan kerjasama kesatuan mata uang dan perdagangan antar negara. Akibatnya bisa ditebak, gejolak sedikit saja dari negara-negara itu bisa mengakibatkan guncangan yang sangat hebat dalam tata perekonomian kawasan tersebut.

Lantas apakah Uni Eropa masih bisa dipertahankan? George Soros sendiri skeptis dengan hal tersebut, karena jika dipaksakan menghindari default, justru akan meruntuhkan dunia secara keseluruhan. Kami sendiri juga tidak yakin jika Uni Eropa bisa bertahan. Mungkin sebagian besar perbankan Eropa masih bisa selamat (jika memang dana talangan perbankan mencukupi). Namun tidak dengan negara-negara yang bermasalah itu sendiri. Para pemegang surat hutang harus rela mengalami hair cut atas pinjaman yang mereka berikan. Bahkan mungkin pemutihan hutang, alias write off atas hutang tersebut. Dan sebagai gantinya, asset-asset berharga dari negara itu harus rela diambil alih oleh para pemegang surat hutang itu.

Dampak pemotongan peringkat hutang negara-negara Eropa yang terjadi semalam dan mengakibatkan guncangan atas bursa Amerika, walau kecil, kemungkinan hari Senin depan (10 October 2011) akan menimbulkan gejolak lagi terhadap bursa Asia. Walau tidak sehebat beberapa waktu yang lalu ketika bursa Indonesia sempat terjun bebas hingga -8.8%, namun mengakibatkan jangka pemulihan ekonomi menjadi jauh lebih panjang lagi.

Indonesia sendiri harus bersiap menghadapi hal terburuk, karena suntikan-suntikan likuiditas dipasar uang, surat hutang dan saham, tidak pernah menyelesaikan masalah secara tuntas. Karena esensi dasar dari perekonomian ada pada ketahanan industri baik pertanian, perikanan, manufaktur, perbankan dan lainnya. Jika negara-negara yang bermasalah itu mengalami de-industrialisasi, tentu solusinya bukan dengan cara suntikan likuditas, namun harus dengan cara menumbuh kembangkan industri itu sendiri.

Kita pernah mengalami gejala de-industrialisasi, meskipun belakangan industri dalam negeri kita sudah mulai pulih kembali, namun pasar dalam negeri kembali dirusak oleh para pelaku import illegal dan import secara membabi buta tanpa memperhatikan kekuatan ketahanan ekonomi dalam negeri. Apalagi ditambah oleh carut marut birokrasi kita yang menyebabkan RIM pun enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Walaupun pasar pengguna handset Blackberry kita adalah salah satu yang terbesar di dunia.

Sudah saatnya pemerintah berhenti untuk saling bersitegang antar departemen dan memperbaiki sikap birokrasi yang kaku. Korupsi dan tumpang tindihnya kebijaksanaan hanya menyebabkan negara ini semakin terpuruk, bukan tidak mungkin suatu saat kita bisa ikut terseret kasus default seperti yang dialami oleh banyak negara maju jika tidak segera berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun