Di sini saya tidak ingin mengomentari apa yang menimpah pengamat politik Rocky Gerung (RG) mengalami pemerkusian saat tampil untuk berbicara di sejumlah tempat. Â Di sini saya juga tidak bermaksud berapologis, membela RG.
Sebagai jurnalis -- miris rasanya sekaligus sebagai bentuk keprihatinan -- manakala kebebasan berbicara mengemukakan pendapat di alam demokratis yang secara konstitusional dijamin undang-undang kemudian direspon dengan cara persekusif.
Di sini saya hanya kembali diingatkan pada artikel yang masih hangat yang saya tulis tiga hari lalu di Kompasiana.com bertajuk "Rocky Gerung dan Peradilan Sokrates". Â (https://www.kompasiana.com/alexpalit6268/64f7bb3008a8b53c4a7437d2/rocky-gerung-dan-peradilan-sokrates).
Di artikel tersebut, saya mengutip buku I.F. Stone berjudul "Peradilan Sokrates". Dalam pengantar bukunya menyebutkan bahwa peradilan Sokrates ini mengguratkan noda paling hitam dengan mengangkangi kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi di Athena yang dikenal sebagai pengibar demokrasi.
Dalam apologinya, Socrates (399 SM) mengatakan: Bagaimana kalian bisa menyombongkan kebebasan berbicara bila kalian memberangus kemerdekaan berbicara yang menjadi hak saya.
Kalian menuntut saya bukan karena hal-hal yang saya lakukan, tetapi hal-hal yang saya katakan terhadap ide-ide.
Bagaimana kalian memperadilkan saya lantaran kalian tidak tahan mendengar pendapat saya yang tidak populer di mata kaum sofis.
Kelugasan saya dalam berbicara membuat mereka membenci saya, dan kebencian mereka itu tidak lain adalah bukti bahwa saya berbicara tentang kebenaran.
Saat itu Socrates berhadapan dengan ketiga pendakwanya yaitu Meletus, Anytos dan Lycon. Ketiga pendakwanya ini mewakili elit kelompok sosial yang berpengaruh di Athena pada saat itu. Meletus mewakili penyair, Anythos mewakili seniman dan negarawan, dan Lycon mewakili musuh besar Socrates yakni kaum sofis.
Sokrates sadar bahwa peradilan yang didakwakan atas dirinya hanyalah kedok politis untuk menyingkirkan dirinya.