Sebagai seorang jenderal yang kenyang merasakan medan pertempuran, saya yakin seyakin-nya bahwa mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad, pastinya juga sudah nglontok, hafal di luar kepala dengan intisari kitab "The Art of War" Sun Tzu.
Selain mengajarkan strategi dan taktik seni berperang, kitab "The Art of War", juga mengajarkan perihal kepemimpinan dan falsafah kepemimpinan, di mana didalamnya juga memadukan ajaran filsafat dari Konfusianisme dan Taoisme, sebagai kompas moral yang disebutnya sebagai "Jalan Sejati".
Disebutkan oleh Sun Tzu, ada lima "Jalan Sejati" yang  merupakan keutamaan yang harus dipunyai dan dipegang seorang jenderal dalam kepemimpinannya sebagai pemimpin.
Sebagaimana dikatakan, sebagai 'jenderal tertinggi', seorang jenderal harus memiliki "Lima Jalan Sejati" yaitu kebijaksanaan, kejujuran, kebajikan, keberanian, dan disiplin sebagai kompas moral.
Di mana kompas moral ini merupakan sumber utama falsafah perang. Kompas moral ini, menurut Sun Tzu, sangat menentukan memang-kalah perang. Pandangan ini mengacu pada bahwa dunia manusia adalah dunia moral. Karena itu, kompas moral "Lima Jalan Sejati" sangatlah penting dimiliki seorang jenderal, komandan atau pemimpin.
Sun Tzu juga menempatkan bahwa seorang jenderal bukanlah tentara yang hanya pekerja; ia adalah seorang ilmuwan, bangsawan, dan filsuf. Sebagai filsuf, seorang jenderal tertinggi bukan saja harus menempatkan kebajikan sebagai keutamaan, salah satunya lagi yaitu tidak dengan membuat prajuritnya bingung.
Dikatakan oleh Sun Tzu: Anda adalah 'jenderal tertinggi' bagi kehidupan -- medan pertempuran -- Anda. Kalau Anda tidak memiliki kapasitas diri yang kuat, maka roda kehidupan Anda tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Dari pesannya Sun Tzu mengartikan bahwa sebagai seorang jenderal mantan komandan tempur yang mahir berkuda dan kini terjun ke panggung politik, pastinya tidak akan gegabah dan grusa-grusu menentukan langkah kuda politiknya. Termasuk nanti ketikan menentukan pilihan cawapres sebagai pendampingnya.
Pasti semua langkah kuda politiknya melalui pertimbangan sangat matang. Termasuk ketika menentukan langkah kudanya dalam gelanggang percaturan politik Pilpres 2024, "sang penunggang kuda" pun harus menentukan langkah kudanya, sebagai penunggang kuda sejati, bukan kuda tunggangan.
Sebagai penunggang kuda sejati, pastinya Prabowo memiliki ketajaman intuisi sebelum mengambil keputusan langkah kudanya sambil tetap bercermin pada pengalaman yang sudah-sudah.