Apa itu mitos? Di buku "Sakral dan Profan", Mircea Eliade menyebutkan bahwa setiap mitos menunjukkan bagaimana sebuah realitas hadir, apakah menjadi realitas total, kosmologis, atau hanya sebuah fragmen-fragmen. Di mana mitos itu sendiri merupakan realitas kultural yang bermakna hingga kini.
Sedang menurut Henry Tudor di buku "Mitos dan Ideologi Politik", dalam pengertian sehari-hari, istilah mitos (myth) mengacu kepada setiap kepercayaan yang berlandaskan kenyataan.
Dan kita dapat mengatakan bahwa suatu cerita tertentu adalah sebuah mitos, bukan berdasarkan kebenaran yang dikandungnya, melainkan berdasarkan fakta bahwa orang mempercayai akan kebenarannya karena dramatisasi yang diberikan kepadanya.
Menurut Henry Tudor, pernyataan yang paling wajar dan mungkin paling berarti yang dapat kita buat mengenal mitos adalah bahwa mitos itu selalu merupakan suatu cerita, satu kisah tentang peristiwa-peristiwa dalam bentuk dramatis.
Ia mempunyai pelaku utama tentang orang-orang yang benar-benar pernah hidup, dan peristiwa-peristiwa yang sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Begitu halnya dengan suatu mitos politik. Mitos politik adalah suatu mitos yang menceritakan kisah tentang sebuah masyarakat politik. Sering kali ia merupakan kisah sebuah masyarakat politik yang pernah ada atau diciptakan di masa lampau dan yang sekarang harus dipulihkan atau dilestarikan. Individu-individu sering kali tampil dalam mitos politik yang berperan sebagai wakil kelompok mereka atau sebagai pengemban nasib mereka.
Mitos politik ini juga melekat dalam masyarakat politik Indonesia, yaitu mitos politik "Notonegoro" yang merujuk pada akronim nama sosok pemimpin yang berakhiran: No-To-Ne-Go-Ro yang kemudian dikaitkan dengan nama sosok presiden Indonesia.
Seperti pada akhiran kata: No yaitu Soekarno, presiden pertama Indonesia. Lalu, To yaitu Soeharto, sebagai presiden kedua Indonesia.
Dalam pemahaman masyarakat politik tradisional, mitos politik "Notonegoro" tidak lepas dari dimensi mistis, di mana kepemimpinan atau keterpilihan seseorang sebagai pemimpin lantaran yang bersangkutan mendapat wangsit wahyu cakraningrat atau wahyu keprabon untuk menata negara.