Demi menjaga kredibilitas, profesionalitas dan independensi di mata publik, hendaknya lembaga survei juga harus bercakrawala politik secara objektif dalam menentukan tokoh yang disimulasi, tidak hanya terorientasi pada framing berkutat di pusaran panggung politik seputar lingkar kekuasaan. Di mana ada nama lain juga layak ditampilkan, yang mana nama tersebut juga memiliki elektabilitas, serta namanya cukup popular di tengah masyarakat, sebut saja seperti Gatot Nurmantyo, Susi Pujiastuti atau pengamat politik Rocky Gerung.
Dengan membaca realitas tersebut, simulasi kandidat capres untuk kemudian dikerucutkan pada nama itu. Tidak usah lagi berderet-deret nama, kalau hasilnya yang bertengger tiga besar tetap berkutat pada nama itu-itu juga. Cukup dengan mengerucut pada keenam nama tersebut, ditambah satu nama lagi yaitu Puan Maharani dari PDI-P yang secara elektoral presidential threshold sudah mengantongi tiket capres. Jadi cukup dengan 7 nama tersebut disandingkan dan ditandingkan.
Terlepas apa dan siapa, latar belakang politisnya, parpol atau non parpol, setidaknya dari tujuh nama tersebut secara personal masing-masing memiliki popularitas elektabilitas untuk tampil, bersanding dan ditandingkan sebagai kandidat capres di kompetisi gelaran pilpres mendatang, juga harus diapresiasi.Â
Dengan merujuk pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Hal ini mengartikan pula, setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai capres yang terlahir dari aspirasi rakyat.
Jadi kalau kita merujuk pada sejumlah hasil rilisan simulasi lembaga survei, mengerucut pada judul: Inilah 7 Calon Presiden 2024 -- Prabowo Subianto, Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Susi Pujiastuti dan Rocky Gerung.
Alex Palit, penulis buku "Sang Presiden 2024".