Di sini saya jadi ingat cuplikan lirik Iwan Fals "Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarmu"; Apa yang tersembunyi di balik manis senyummu, yang kemudian terhubung dengan apa yang tersembunyi di balik semiotika baliho yang kini banyak bertebaran di jalanan.
Ya, apa yang tersembunyi di balik semiotika atau bahasa tanda tersebut? Setidaknya sini kita diajak menalar dan memaknai secara kritis apa yang tersurat dan tersirat dari semiotika dan bahasa tanda dari tebar pesona baliho yang kini marak ditemui di pinggiran jalan.
Seperti di judul tulisan Kompas.com, "Baliho Politisi Bertebaran di Tengah Pandemi". Di tengah duka derita rakyat oleh selama PPKM, sementara ada baliho tebar pesona demi ambisi kepentingan politik pragmatis.
Benarkah politik tak ada urusannya dengan moralitas, etika dan estetika? Dalam buku "Il Principe", Machiavelli mengatakan bahwa politik itu tak ada kaitannya dengan moral, segala macam cara pun dihalalkan sebagai agenda politik untuk merebut kekuasaan, tak peduli di tengah pandemi.
Adakah doktrin Machiavellisme ini yang kini sedang dipertontonkan oleh elite politik yang haus kuasa, kebelet berkuasa, dengan cara-cara tidak lagi meng-indah-kan moralitas, etika dan estetika?
Lebih jauh lagi, adakah di balik semiotika baliho ada pesan tersembunyi sebagai bahasa tanda antara yang tersurat dan tersirat didalamnya?
Atau jangan-jangan semua ini berupa signal politik, seperti tertulis di caption foto: Apa yang terjadi? Atau lebih tepatnya, apa yang bakal terjadi?
Setidaknya dari semiotika baliho tersebut kita diajak menalar secara kritis apa yang terjadi dan apa yang bakal terjadi. Â
Sebagaimana adagium "politics is the art of the possible", politik adalah seni dari kemungkinan. Dalam politik tak ada yang tak ada, segala kemungkinan bisa terjadi.
Alex Palit, citizen jurnalis Jaringan Pewarta Independen #SelamatkanIndonesia, pernah bekerja sebagai wartawan di Persda Kompas -- Gramedia. Menulis buku "Nada-Nada Radikal Musik Indonesia" dan "Ngaji Deling -- Ratu Adil 2021 / 2024".