Di sini saya sengaja mengawali dengan prolog cuplikan lirik lagu dari duet merdu Broery Marantika dan Dewi Yull, ciptaan Harry Tasman, berjudul “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”: Semua terserah padamu / Aku begini adanya / Kuhormati keputusanmu / Apa pun yang akan kau katakan...
Saya pun jadi teringat kembali dengan album tersebut yang diproduksi oleh HP Record, maaf lupa tahun berapa dirilis, tapi yang pasti awal tahun ’90-an. Saat itu saya masih jadi wartawan musik, kebetulan dekat dengan produsernya, Hadi Sunyoto. Bahkan saya pernah diberi CD album tersebut, tapi nggak tau sudah hilang entah ke mana.
Saya cukup lama tidak mendengarkan lagu tersebut, tapi begitu dengar liriknya, saya hafal judulnya “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”. Tepatnya setelah diumumkan perpanjangan pemberlakuan episode ketiga PPKM (2/8), cuplikan lirik suara emas Broery tersebut kembali mengudara memviral diparodikan dalam klip TikTok.
Saya pun dibuat ngakak memutarnya di grup WA. Dan ternyata cukup memviral di grup WA dalam versi gambar beragam.
Adakah semua itu sebagai budaya tanding (countre culture) terhadap hegemoni kekuasaan (hegemony of power) terhadap pemberlakuan perpanjangan PPKM?
Kedua istilah tersebut banyak ditemui dalam budaya popular (popular culture), terutama di mazhab Frankfrut yang terkenal dengan teori kritisnya. Di mana pemahaman hegemoni itu sendiri sering dikaitkan dengan sistem kekuasaan, dominasi kekuasaan atau dominasi politik.
Adakah memviralnya cuplikan lirik lagu sebagai sikap kritis atau perlawanan budaya terhadap hegemoni kekuasaan sebagai budaya tanding atas sebuah “ungkapan yang ada” yang dianggap tidak populis di mata rakyat?
Bisa jadi rakyat, utamanya wong cilik, sudah capek menghadapi PPKM berkelanjutan. Protes atau unjuk rasa mereka pun tidak lagi dilakukan sereaktif seperti sebelumnya, seperti menentang dengan cara berdemo di jalanan atau kibarkan bendera putih. Mereka pun pasrah dengan keadaan, lalu mencoba menghibur diri sebagai bentuk kepasrahan karena tidak tahu lagi harus berbuat apa menanggung beban realita kehidupan yang makin berat dan menyesakkan.
Dan satu-satunya jalan yang bisa menghibur diri sambil mengelus dada, dan memparodikannya lewat cuplikan nyanyian “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”: Semua terserah padamu / Aku begini adanya / Kuhormati keputusanmu / Apa pun yang akan kau katakan...
Di mana parodi itu sendiri bisa menjadikannya humoristik sebagai kelucuan untuk tertawa dan mentertawakan, untuk menghibur diri di tengah kepasrahan dan ketidak-berdayaan, atau malah berupa absurditas sebagai plesetan yang dihasilkan atas reaksi dari “ungkapan yang ada”.
Dalam perspektif komunikasi politik, countre culture ini bisa sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemony of power yang dilakukan secara olok-olok atau memperolok “ungkapan yang ada” yang dinilainya tidak populis di mata rakyat. Atau bahkan bukan tidak mungkin sebuah parodi dihasilkan dalam kaitannya dengan politik sebagai budaya tanding terhadap hegemoni kekuasaan.
Atau bahkan bukan tidak mungkin di balik budaya tanding tersebut ada tersirat muatan pesan politik didalamya yang disampaikan.
Alex Palit, citizen jurnalis Jaringan Pewarta Independen #SelamatkanIndonesia, pernah bekerja sebagai wartawan di Persda Kompas – Gramedia. Menulis buku “Nada-Nada Radikal Musik Indonesia” dan “Ngaji Deling – Ratu Adil 2021 / 2024”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H