Musisi tak beda dengan jurnalis yaitu sama-sama sebagai pewarta. Kalau jurnalis mewartakan kesaksiannya lewat bahasa tulisan, sedang musisi merekam hasil amatannya lalu diolah dengan segenap imajinasi seninya kemudian diekspresikan dan dituangkan lewat bahasa musik, lagu, dan nyanyian.
Bagi musisi, musik itu sendiri tak bedanya sebagai media komunikasi yang bisa bermakna lebih dari sekadar rangkaian instrumentasi bunyi.
Dengan bahasa musik, ia mengekspresikannya, apa itu lewat ungkapan puitisasi syair lirik lagu -- atau nada-nada itu sendiri -- yang mana didalamnya bisa berupa tuangan cerita, pesan, harapan, kritik, bahkan pernyataan sikap, atau apapun itu. Sebagai karya seni, musik pada hakikatnya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Bahkan daya kritis musisi dalam melihat persoalan bangsa tidak kalah dengan pengamat politik sekalipun. Hanya beda media penyampaian. Kalau pengamat politik menyampaikan amatannya lewat analisa-analisa didasarkan pada referensi teoritis. Sementara musisi lebih pada aspek sosio kultural atau kesenian, walau ketajamannya tidak kalah dengan pengamat politik.
Termasuk saat menyampaikan kritik atau protes yang dibungkus dalam bahasa yang lebih puitis, plastis, simbolik, dan interpretatif. Bahkan secara artikulatif, musik protes bisa lebih lantang walau tanpa serta-merta menuding batang hidung siapa pun yang dikritiknya. Tak jarang apa yang diungkapnya merupakan ekspresi protes, kritik, atau bahkan berfungsi sebagai kontrol sosial sebagai ekspresi dari apa disaksikan dalam realitas kehidupan.
Sebagaimana pernah diungkapkan KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI ke-4 yang akrab dipanggil Gus Dur, bahwa protesnya musik adalah protes budaya yaitu protes yang mengacu pada suatu keadaan atau kasus-kasus yang ada tanpa harus menuding secara eksplisit kepada siapa pun. Ini pelajaran dari musik protes, tidak menuding siapa pun.
Dikatakan oleh Gus Dur, sebagai bentuk kreativitas seni kehadiran musik protes ini harus menyajikan perspektif jangka panjang. Karena itu apa yang diproteskan dalam musik protes adalah prinsip-prinsip umum dalam yang terjadi dalam realitas kehidupan, misalnya mengkritisi masalah ketidakadilan atau ketimpangan sosial lainnya.
Menurut Gus Dur bahwa keberadaan musik protes ini sendiri tidak selalu lahir karena adanya tekanan, tetapi juga bisa disebabkan keprihatinan sang seniman atas kondisi realitas sosial.
Dari apa yang dikemukakan Gus Dur, keberadaan musik protes ini menunjukkan pada kita bahwa juga bisa berfungsi memainkan fungsi kontrol sosial. Bahkan musik bisa ditempatkan lebih terhormat tak sekadar hiburan yaitu sebagai pilar kelima demokrasi yang juga ikut andil berfungsi kontrol sosial.
Dalam hal ini tak hanya peran pers yang bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Di sini lewat peran kritisnya musik juga bisa berfungsi memainkan kontrol sosial. Tinggal bagaimana mengintegrasikan musik sebagai karya kesenian dalam kegiatan besar manusia yang bernama kebudayaan, atau bidang kehidupan lainnya, seperti moral, kepribadian, edukasi, ketauladanan, juga dalam kehidupan politik.
Karena dalam hal ini kedudukan, status, maupun peran seniman sendiri pada hakekatnya tak bedanya seperti seperti ulama, wartawan atau intelektual. Di mana lewat perannya yang cukup strategis dalam kehidupan sosial, seniman haruslah berani mewartakan kaidah-kaidah kebenaran dan mengungkap segala bentuk kepalsuan-kepalsuan yang terjadi di masyarakat. Termasuk melawan segala bentuk dehumanisasi.