Di sini saya sengaja tidak ingin ngomongin Habib Rizieq atau Nikita Mirzani yang lagi ramai di media sosial. Di sini saya ingin menuliskan cuplikan tulisan "Damai Yang Hilang"dari bagian babbuku saya "God Bless Aku Bersaksi". Â Â
Entahlah apakah tulisan yang saya angkat dari lagu "Damai yang Hilang" - God Bless, ciptaan Jockie Soeroprayogo dan Iwan Fals masih relevan atau menemukan relevansi kontekstual dengan realitas sosial saat ini?
Benarkah kini kita mengalami keretakan kemesraan sosial yang mengusik lamunan kita, atau adakah nilai-nilai adiluhung kearifan lokal warisan nenek moyang kita; ora ono kamulyan tanpo seduluran sudah terkikis, atau ini hanya kegagalan kita sendiri dalam memahami dan memaknai kehidupan berdemokrasi yang kemudian menggiring kita pada "Damai yang Hilang" ditandai dengan terjadinya polarisasi dalam kubu-kubuan yang meretakan kemesraan soal lantaran hanya dipicu dan terpicu oleh beda pilihan politik?
Adakah ini kesalahan kita bersama yang belum siap dan menjadi dewasa dalam memaknai kehidupan berdemokrasi, atau kesalahan ini kita timpahkan ke elit politik di mana di tanganmu bawa kisah cerita damai yang hilang, dan mirisnya lagi sebagaimana ada di syair lagu "Damai yang Hilang", ciptaan Jockie S & Iwan Fals, Â bahwa damai sudah menjadi dagangan? Benarkah kini perang sudah menjadi dagangan?
Sudah tentu secara artifisial yang dimaksud dengan perang sudah menjadi dagangan bukanlah peperangan yang mengandalkan kekuatan alutsista, melainkan peperangan di lapak sosial media, antar dua kubu yang berseberangan dan berlawanan Cebong versus Kampret ini saling serang dan saling provokatif dalam ujaran dari hate speech sampai hoax.
Meski sudah dinyatakan; tidak ada lagi Cebong -- tidak ada lagi Kampret, malah justru yang menyeruak buzzer, entah itu ada kepentingan ideologis atau lantaran muatan kepentingan ekonomis, atau bermuatan kepentingan keduanya. Sampai memunculkan sinyalemen ada yang meyakini bahwa buzzer ini bukan sekedar ada, juga diadakan, dipelihara dan dirawat oleh kekuatan-kekuatan yang memiliki kepentingan politik pragmatis didalamnya.
Kalau di politik kita diperkenalkan pada adagium tak ada lawan atau kawan abadi yang ada kepentingan pragmatis. Satunya lagi yaitu adagium tak ada makan siang gratis.
Adagium kedua inilah yang tersematkan di diri oknum pasukan relawan berbayar. Sebagai oknum pasukan relawan berbayar, sang oknum buzzer inipun siap jungkir-balik melakukan apa saja yang dimaui sang juragan dengan segala konsensi atau sampai yang merujuk bargaining position.
Fenomena buzzer inilah -- diakui atau tidak akui -- malah hanya bikin runyam bahkan makin bikin gesekan polarisasi kian terus menganga olehnya. Celakanya lagi ulah buzzer inipun bukan hanya berkutat di ranah politik kini sudah merambah ke ranah privat melakukan character assassination seseorang yang patut diserang, dikoyak-koyak dan dihancurkan.
Begitupun, dari nyanyian "Damai yang Hilang", pastinya di sini tidak ingin saling menyalahkan atau mencari kambing-hitam ini salah siapa, tetapi setidaknya ada political will dari elemen elit politik atau pemangku otoritas politik untuk tidak melakukan pembiaran pada hal-hal yang justru memicu terjadinya polarisasi berkelanjutan pada keretakan kemesraan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Justru bagaimana merekatkan dan menyatukan kembali retakan-retakan itu, bukan malah menjadi backing vocal lagukan nyanyian genderang perang atau malah dari balik layar belakang panggung menjadikan perang ini sebagai dagangan. Semoga!
Alex Palit, jurnalis pernah bekerja di Harian Surya (Surabaya), Persda Kompas Gramedia (Jakarta) dan Tabloid Musik ROCK. Menulis buku: Rock Humanisme God Bless, Festival Rock se-Indonesia -- Log Zhelebour, Nada-Nada Radikal Musik Indonesia, God Bless -- Aku Bersaksi, dan 70 Tahun Maestro Rock Indonesia -- Ian Antono.