Hampir semua kabupaten dan kota di Indonesia merasa berhasil dalam mengelola pendidikan. Hal ini tercermin dari tingkat kelulusan siswa dalam UN yang rata - rata diatas 90 %.
Memang semua patut tersenyum puas atas raihan prestasi itu, akan tetapi jika dicermati semua raihan itu tentu akan menjadi tanda tanya besar. Bagaimana bisa di beberapa kabupaten dan kota peserta yang lulus UN mencapai 100 %. Angka seratus persen berarti tidak ada yang harus mengulang atau tidak ada yang gagal.
UN bukan satu-satunya faktor yang menentukan siswa lulus atau tidak lulus tapi masih ditentukan oleh hasil rapor dari semester 1 hingga 5. Porsinya adalah 60 % nilai UN dan 40 % rerata nilai raport .
Disinilah letak masalahnya, sekolah dengan sistem ini, tidak akan berani lagi memberikan nilai "merah" alias tidak tuntas kepada siswanya jikalau tidak ingin terganjal pada akhir tahun ketika menggabungkan nilai raport dengan nilai UN. UN adalah ujian yang bukan hanya milik sekolah tapi adalah miliki kabupaten dan kota ( baca, pemerintah)
Kedua, adanya kunci jawaban yang beredar pada saat ujian nasional sudah menj0adi rahasia umum dikalangan siswa. Rahasia ini sudah turun temurun sejak sistem ini diberlakukan. Tahukah pembaca apa implikasinya ? bahwa banyak siswa yang meremehkan proses pembelajaran, mereka sudah percaya dan mengimani bahwa pada saat ujian nanti mereka akan mendapat bantuan, dan sekolah takut mereka tidak lulus.
Semangat mereka dan rasa khawatir mereka sudah sirna untuk memacu diri mempersiapkan suatu ujian. Apalagi jikalau mereka tahu, bahwa setiap guru tidak akan berani memberikan nilai tidak tuntas di raport mereka, maka sempurnalah kerusakan pendidikan kita ini.
Saya seorang guru, saya juga menjadi orang tua siswa sama dengan para pembaca yang bukan berprofesi sebagai guru. Betapa miris hati saya, ketika anak saya yang dibangku kelas 8 menceritakan bahwa " anak -anak kelas 9 memiliki nilai yang bagus- bagus pada UN,  tahu nggak pah...? mereka dikasih bocoran" lho kok kamu tahu, darimana?.......aku pura-pura tidak tahu,....dan mengejarnya untuk menjelaskan. dia mengatakan, " kan, ada teman-teman saya yang diperbantukan pada saat UN itu, mereka yang tahu bagaimana para siswa itu dengan mudah mendapatkan jawaban pada soal-soal yang sulit<".Saat itu saya speechless apa yang harus saya katakan kepada anak saya, karena sayapun merasakan hal yang sama, yaitu menghadapi murid-murid yang menanamkan keyakinan akan dibantu pada saat ujian.
Tapi saya terus meminta dan memberinya semangat bahwa  belajar itu bukan hanya mengejar nilai, lulus atau tidak lulus tapi belajar adalah proses membangun diri secara utuh, baik dalam hal teknologi, spiritual dan mental. Karena pada saat kamu bekerja kelak, ilmu pengetahuan yang kamu kuasai lah yang akan menentukan karier kamu. Jangan percaya dengan bantuan - bantuan itu, karena akan merusak karakter dan semangat kamu. Kamu harus mempersiapkan diri kamu, jangan informasi teman-teman kamu merusak semangat kamu.
Hal   semacam ini tidak hanya saya katakan pada anak kandung saya tapi juga kepada murid-murid yang saya ajar dan didik ketika ada celetukan dari mereka hal yang dikatakan oleh anak saya.
Propinsi yang mengalami kegagalan siswanya yang tidak lulus paling banyak adalah propinsi NTT. Dengan hasil yang jeblok seperti itu, yang semoga adalah hasil yang sebenar-benarnya, kenapa mesti malu. Mereka justru mendapatkan blessing in disguise atau berkat tersembunyi, yaitu mendapatkan intervensi dari mendiknas. Sarana dan prasarana " akan " diperhatikan, bahkan mungkin guru-gurunya akan lebih sering penataran, bukannya seperti kami ini, yang penataran satu kali dalam 5 tahun, itu juga sudah syukur. Apalagi kalau udah dianggap berhasil, ya berarti sudah tidak perlu dapat bantuan terlalu banyaklah.
Marilah kita jujur dan terbuka dengan keadaan kita yang sebenar-benarnya agar kita bisa membangun karakter siswa sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut siswa.