Mohon tunggu...
Alex Mulandar Manalu
Alex Mulandar Manalu Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Hukum

Menulis dan Jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Komisi Pemberantasan Korupsi: Penjaga Integritas di Tengah Dinamika Hukum Indonesia?

5 Juli 2024   13:02 Diperbarui: 5 Juli 2024   13:02 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Author with AI

Di tengah maraknya kasus korupsi yang mengguncang fondasi kepercayaan publik, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan oleh masyarakat menjadi benteng terakhir dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Didirikan pada tahun 2002, KPK telah menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi, dengan mandat yang jelas untuk tidak hanya menindak tetapi juga mencegah korupsi melalui pendidikan dan kerjasama antar lembaga.

Beberapa waktu lalu, terungkap bahwa beberapa pegawai KPK terjerat kasus dugaan Pungutan Liar (Pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) KPK. Tidak sampai disitu, ternyata dari 93 orang yang di proses etik oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK hanya 15 orang yang dijadikan sebagai Tersangka oleh KPK itu sendiri dengan alasan sebagian dari 93 orang tersebut hanya menerima uang rokok. Alasan tersebut menciptakan pandangan di dalam Masyarakat bahwa ternyata Gratifikasi yang dapat di tindak tergantung dari besaran yang di terima. Dengan demikian, KPK dapat dianggap telah memberikan Pendidikan yang buruk kepada masyakat terkait penindakan, seolah-olah hal kecil suatu tindak pidana khusus merupakan hal yang wajar untuk di anulir. Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas internal KPK dan bagaimana lembaga ini menjaga kepercayaan publik sambil menegakkan hukum.

Kasus gratifikasi yang melibatkan pegawai KPK ini menambah dimensi baru dalam diskusi tentang peran dan efektivitas KPK. Bagaimana sebuah lembaga yang didirikan untuk memerangi korupsi disamping masalah serupa terjadi di dalam strukturnya sendiri? Ini menunjukkan bahwa tidak ada lembaga yang kebal dari praktik korupsi dan pentingnya mekanisme kontrol internal yang kuat.

Bagaimana KPK dapat memberantas korupsi? Pertanyaan ini akan menjadi sulit terjawab apabila KPK itu sendiri menjadi pelaku KKN juga. Bahkan dengan dibentuknya Dewan Pengawas (Dewas) tahun 2019 belum dapat menghilangkan buruknya kepercayaan dari masyarakat terhadap KPK. Apalagi dengan tersandungnya ketua KPK yaitu Firli Bahuri terlibat dalam suap kasuy Syahrul Yasim Limpo, menambah buruknya citra KPK itu sendiri.

Belum lama ini juga, sebuah kasus besar kembali mencuat ke permukaan. Kementerian Keuangan Republik Indonesia melaporkan dugaan korupsi yang terjadi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan nilai yang ditaksir mencapai 2 triliun Rupiah. Namun, yang menarik adalah laporan tersebut dialamatkan kepada Kejaksaan Agung, bukan kepada KPK.

Pertanyaan pun muncul, mengapa Kementerian Keuangan memilih jalur hukum ini? Apakah ini menandakan pergeseran kepercayaan atau sekadar taktik hukum yang strategis? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami lebih dalam tentang peran serta kewenangan KPK.

KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Namun, KPK juga berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya, termasuk Kejaksaan Agung, dalam menangani kasus-kasus tertentu. Dalam konteks ini, mungkin ada faktor-faktor tertentu yang membuat Kementerian Keuangan memandang Kejaksaan Agung sebagai lembaga yang lebih tepat untuk menangani kasus LPEI.

Bicara mengenai kewenangannya, KPK dianggap tidak benar dalam melaksanakan kewenangannya, seperti yang terlihat dalam pemeriksaan saksi Hasto kasus Harun Masiku. Kuasa hukum yang mewakilinya menilai bahwa Hasto mengalami perlakuan buruk karena ditinggalkan dalam ruangan pemeriksaan untuk waktu yang cukup lama sehingga Hasto merasa kedinginan. Apabila itu benar, kualitas hasil pemeriksaan bisa saja buruk. Selain itu, adanya penyitaan HP yang seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang lebih baik.Top of FormBottom of Form

Sebagai penutup, kasus gratifikasi internal KPK dan bahkan pimpinannya, Pelaksanaan kewenangan penyelidikan dan Penyidikan yang tidak efektif,  dan laporan Kementerian Keuangan terhadap LPEI membuka diskusi yang lebih luas tentang dinamika antara lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia dan bagaimana mereka berinteraksi dalam memerangi korupsi. KPK, dengan segala keterbatasan dan tantangan yang dihadapinya, tetap menjadi simbol harapan bagi banyak orang Indonesia yang mendambakan pemerintahan yang bersih dan transparan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun