"Menurut pendapat saya sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, kita mesti mempunyai siri mempunyai harga diri", Â Hamka.
Dalam bahasa orang Sualwesi Selatan (Bugis, Makasar, Mandar, dan Tana Toraja), "siri" bermakna rasa malu (harga diri). Dalam masyarakat Bugis juga terdapat istilah siri mate siri yang berhubungan dengan iman. Dalam arti luas mate siri adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman).
Sementara itu, siri dalam pandangan islam sepadan dengan syaja'ah. Dalam pandangan Hamka, syaja'ah merupakan pertengahan antara pengecut (jubun) dan berani babi (tahwwur). Sikap pertengahan inilah yang akan membawa celaka pada diri.
Semenjak perkembangan demokrasi, teknologi dan informasi, rasa malu tidak lagi menjadi dasar berperilaku. Harga diri bahkan dengan mudah digadaikan dengan setumpuk uang dan kekuasaan. Bahkan celaka dua belasnya, ulama yang diharapkan menjaga siri atau kehormatan dirinya juga ikut terseret.
Maka tidak heran jika Bruce B Lawrence mengatakan, agama islam hanya menjadi instrument (alat) di Indonesia. Umat yang kehilangan panduan ulama dengan mudah dibenturkan oleh kekuasaan demi ambisi berkuasa.
Seorang ulama seharusnya mampu menjaga harga dirinya dari godaan kekuasaan. Apalagi menjelang memasuki musim politik. Harusnya ulama mawas diri, bukan dengan lugu termakan narasi politik dan berduyun-duyun merapat ke lingkaran kekuasaan.
Akan sangat menyedihkan apabila para ahli ilmu dan panutan umat (ulama) begitu terpukau dengan retorika dan wacana penguasa sampai lupa tugas utamanya. Jika ulama saja meninggalkan umat karena kedudukan, harta dan kekuasaan, maka jangan heran jika kedepan masyarakat akan bertanya "berapa harga malu ulama?".
Untung saja setelah Hamka, rakyat Indonesia masih dititipkan ulama yang masih mampu menjaga siri-nya. Abdul Somad yang dibujuk rayu dengan berbagai macam cara mampu menjaga kehormatan dirinya dan konsisten menjadi suluh di tengah kelam dan menjadi setetes embun di tengah sahara.
"Kalau siri yang sejati tidak ada, niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan saja penjajahan dari bangsa asing bahkan daripada golongan yang kuat kepada yang lemah, daripada golongan yang merasa dirinya berkuasa kepada golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa, selain dari keadilan sejati dan kebenaran sejati".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H