Saya serba khawatir untuk menulis tentang Pentas Seni Musik, Lagu dan Sejarah Karya Maestro Greg Gheda Kaka (GGK, 1945-2005) yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini melalui program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) 2021.Â
Pada satu sisi progam FBK ini sudah berlangsung beberapa tahun, setidaknya sejak  Hilmar Farid menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan menggantikan Kacung Marijan pada Desember 2015. Berarti berbagai program dan karya maestro dari berbagai daerah sudah banyak dipentaskan dan terdokumentasi dengan baik. Namun pada sisi lain-bagi Sumba-ini hal baru kalau tidak mau dikatakan sebagai yang pertama dilaksanakan di pulau ini. Pentas dilaksanakan di Rumah Budaya Sumba milik Kongregasi Redemptoris Indonesia (CSsR). Rumah Budaya Sumba didirikan dan dipimpin oleh Pater Robert Ra Mone, CSsR.
Kekhawatiran saya terletak pada ini: Justru karena saya yang membantu "membawa"nya ke Sumba. Sebab itu saya ingin sedikit membuka "rahasia" dan berusaha semaksimal mungkin tidak memasukkan subyektifitas pribadi.
Tahun 2019 saya mengusulkan Rumah Budaya Sumba ke dalam program ini. Namun saya langsung gugur karena persis pada poin pertama saya tidak memenuhi persyaratan: Pengusul harus datang dari daerah 3T; Terdepan, Terluar, Terpencil (untuk memperhalus sebutan untuk daerah tertinggal. Sumba masuk dalam kategori ini).
Belajar dari pengalaman di atas, saya harus menggandeng teman-teman yang berdomisili di Sumba dan (terutama) memiliki perhatian terhadap seni budaya. Saya membuat daftar, telepon sana-sini dan kemudian jatuh pada karya-karya GGK.
Oktavianus Kaka, anak keempat GGK dan Mama Martha Dada Gabi, saya kenal sejak kecil. Ketika kami belajar di SMP Wona Kaka. Usianya barangkali terpaut 10 tahun di bawah saya. Oktav yang biasa kami panggil Lete Watu alias LW mewarisi darah seni ayahnya. Mereka juga memiliki Sanggar Tari Hangapung. Waktu ia kuliah di Yogyakarta, kami lebih sering ketemu dan ngobrol. Selain LW, saya kenal dekat dengan keluarga besar mereka, baik Mama Martha, Pater Willy Pala, Heri "gundul" Ra Mone dan Patricia Kaka. GGK, saya, dan semua putra-putri beliau berasal dari almamater yang sama: SMA Anda Luri, Waingapu.
Bagaimana Pak Goris-demikian kami menyapa GGK kami pilih untuk diusulkan?
Pandangan pribadi saya, Pak Goris adalah seorang budayawan. Minatnya merambah banyak bidang: Mencipta lagu, menulis sejarah, melukis, mematung dan mencipta tari kreasi baru.
Salah satu puncak pencapaiannya adalah mencipta dan mengaransemen sekitar 50 lagu gereja dalam bahasa suku Kodi di Sumba Barat Daya, yang dikumpulkan dalam buku "Lodo Malangu" (lagu-lagu pujian) bersama Bapak Andreas Ra Mone (alm). Lagu-lagu ini masih dinyanyikan dalam ritual Natal dan Paskah atau hari besar lainnya dalam Gereja Katolik di Kodi.
Tujuh buah lagu di antaranya menjadi bahan lokakarya dan dimasukan dalam Buku Nyanyian Gereja "Madah Bakti" yang diterbitkan oleh Pusat Musik Liturgi (PML) di Yogyakarta. PML antara lain digawangi oleh Pastor Karl Edmund Prier, SJ dan Paul Widyawan. Tentu saja di sini kita tak bisa melewatkan nama-nama: Bapak Bernard Homba, Bapak John Loghe Leha dan Bapak Agustinus Dengi Muda, ayahanda Ignas Ndara Halato, teman SMP hingga SMA saya.
Di kalangan Gereja Katolik Indonesia, Madah Bakti adalah masterpiace. Ia puncak pencapaian. Bukan saja karena kandungan teologi dan mutu syairnya yang tinggi, namun terutama karena ia menerima dan mencipta lagu-lagu dalam beragam dialek nusantara. Indonesia yang beragam ditemukan di dalam Madah Bakti.