Aku merasakan kesunyian yang mencekam. Kosong. Ada perasaan "lonely" yang mengiris-ngiris. Aku merasa seperti ada dari bagian dari tubuhku yang hilang. Dan kali itu pertahananku jebol. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku berteriak seperti orang kesurupan.
Tetangga tergopoh-gopoh mendatangiku. Mereka mengira telah terjadi apa-apa. Melihatku begitu sedih mereka justru ikut menangis. Aku melihat Bapak berdiri di sudut rumah. Terpekur. Â Tubuhnya kaku. Aku tahu hatinya lebih tersayat dari aku karena kehilangan seseorang yang setiap hari mendampinginya selama 40 tahun.
Kenyataan ini menghempaskan aku keras. Kali itu barulah aku merasakan pedihnya ditinggal orang tercinta.
Waktu seperti berlari saja rasanya. Empat tahun cepat sekali berlalu. Setelah kepergian Ibuku, aku belum pernah lagi mengunjungi makamnya. Barangkali gara-gara inilah, pada sebuah dinihari yang dingin Ibuku datang dalam mimpi. Bajunya putih. Ia mengenakan sarung tenun yang indah. Ia mengangguk, tersenyum, lalu menghilang.
Aku terbangun. Aku kembali merasakan kekosongan yang sama seperti ketika Ibuku baru dua minggu meninggalkan kami. Aku meraih rosario, menggenggamnya erat sekali. Aku tidak mengucapkan doa. Aku hanya membayangkan Bunda Maria yang hatinya kosong dan teriris melihat Putranya di kayu salib.
Aku berpaling memandang wajah teduh istriku. Satu-dua guratan mulai tampak pada dahinya. Dua anak kami masih tertidur pulas di sampingnya. Mataku menyusuri perutnya.
Kali ini aku benar-benar berdoa kepada Tuhan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H