Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hama Belalang Kumbara yang Terus Menyerang Sumba

29 November 2022   17:58 Diperbarui: 29 November 2022   18:12 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puluhan ribu anak belalang kumbara tampak menyebar di jalan antara Waingapu-Melolo, Sumba (Foto:Lex) 

Dalam satu dekade ini Pulau Sumba terus diserang hama belalang kumbara. Segala upaya sudah dilakukan pemerintah, antara lain menyemprot dengan obat-obatan kimia. Namun sekarang justru jumlah belalang kian bertambah. Berlipat-lipat jumlahnya. Menurut analisa para petugas pertanian lapangan, telah lahir generasi belalang kumbara yang tahan terhadap obat-obatan kimia. Yang paling mempan sebenarnya menurut mereka adalah, pemangsa alami seperti burung. Namun perburuan burung yang tak terkendali di Sumba telah menyebabkan burung-burung pemangsa belalang kian langka.

Namun ada kesaksian dari Lunggi Randa (63), Imam Marapu pada suku Pada Uma Ratu di Kampung Wundut,  Lewa, Sumba Timur, bahwa ladang dan sawah yang mereka upayakan tak pernah diganggu oleh hama belalang. "Kami minta belalang supaya jangan mengganggu tanaman kami. Jadi meskipun mereka terbang bergerombol, biasanya hanya lewat saja," ujarnya bersaksi.

Pada akhir Juni 2022 lalu, Lunggi Randa panen padi sawah sebanyak tujuh ton. "Kami ada buktinya, jadi tidak sekadar omong saja," kata dia lagi.  

Kampung Wundut dan beberapa kampung adat di sekitarnya termasuk yang menolak kebijakan Dinas Pertanian Sumba Timur untuk mengusir dan membunuh belalang dengan insektisida. Menurut  Lunggi Randa, hal tersebut kurang bijak karena sebenarnya alam sudah menyiapkan caranya sendiri dalam menanggulangi hama.

"Kami juga tidak 'bermusuhan' dengan tikus. Memang mereka makan padi dan jagung, tetapi hanya secukupnya. Sedikit saja. Lalu mereka pergi," jelasnya di hadapan wartawan dan peserta Festival Wai Humba IX.

Warga penganut Agama Marapu di Wundut memiliki ritual khusus untuk 'mengusir' hama belalang maupun hama lainnya. Demikian pula jika terjadi kebakaran padang yang luas karena ulah manusia, mereka biasanya mengadakan ritual khusus untuk meminta maaf kepada hewan dan tanaman yang ikut terbakar, dan memohon kepada sang pemilik kehidupan untuk menerima jiwa yang terbakar itu dalam keabadian. Penganut Marapu meyakini bahwa semua makhluk hidup memiliki jiwa, dan Sang Pencipta sudah menciptakan seluruh makhluk dengan tujuannya masing-masing.

Hama belalang kumbara, sudah sekitar lima tahun belakang ini kembali menyerang beberapa wilayah di Kabupaten Sumba Timur secara massif dalam jumlah berkali-kali lipat. Mereka juga menyebar hingga ke Kabupaten Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.

Anak-anak belalang kumbara memenuhi selokan di sisi jalan menuju Desa Kadumbul, Sumba Timur (Foto:Lex) 
Anak-anak belalang kumbara memenuhi selokan di sisi jalan menuju Desa Kadumbul, Sumba Timur (Foto:Lex) 

Ketika saya ke Kecamatan Haharu pada tengah tahun 2020, kaca mobil kami seperti dikerubuti puluhan ribu tawon yang akan menyengat mangsanya. Langit seperti mendung. Matahari tertutup ratusan ribu atau bahkan jutaan belalang yang terbang memenuhi angkasa. Pada akhir bulan Maret 2022 lalu ketika saya mengunjungi beberapa sekolah di Laipori dan Kadumbul di bagian timur Waingapu, pada sebuah savana, mereka melompat-lompat menyeberangi jalan. Sayapnya belum tumbuh. Banyak yang mati digilas kendaraan. Namun yang hidup jumlahnya lebih dari sekadar berlaksa-laksa.  

Di tengah upaya penyemprotan yang seperti kurang berhasil, barangkali kearifan lokal yang diyakini penganut Marapu bisa menjadi salah satu pilihan. Tentu saja dengan melarang keras perburuan pemangsa alami belalang, antara lain burung-burung dari segala jenis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun