Foto-foto yang saya sertakan sebagai ilustrasi ini saya "klik" di rumah keluarga Ama dan Ina Petrik di Kampung Dikira, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), NTT. Suatu hari bersama Pater Willy Pala dan Pater Novrianto, keduanya dari Kongregasi Imam Redemptoris (CSsR), Â kami menuju ke pedalaman SBD ini, melewati kampung-kampung, dan mobil parkir di ujung jembatan gantung, sebab hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Sepanjang sisa perjalanan sejauh dua kilometer itu adalah sungai, sawah dan hutan. Suasana perdesaan yang mempesona.
Pada banyak rumah penganut Agama Katolik di Sumba dan di tempat lain, mudah menemukan salib dengan korpus, Â foto-foto orang kudus, foto paus dan uskup, foto Bunda Maria, foto ayah dan ibu, foto anak-anak, dan foto orang-orang yang memiliki kenangan yang baik bagi keluarga itu, maka dipajang di dinding ruang tamu.
Para santo dan santa tentu saja sudah meninggal dunia. Mungkin bapak dan ibu kita juga sudah meninggal dunia. Tetapi foto yang lain adalah mereka yang masih hidup. Barangkali mereka sedang berada jauh dari rumah karena berbagai alasan. Dan demi kenangan yang baik itulah foto-foto mereka digantung di sana.
Semua gambar, salib dan foto ini adalah simbol. Ia bukan sekadar gambar yang dipajang di sana. Sebab ia mewakili sesuatu yang lain. Sesuatu yang hanya bisa dipahami secara pribadi. Pada foto bapak dan ibu kita, ia mewakili kenangan puluhan tahun hidup bersama. Suka-duka bersama. Air mata dan senyum bersama. Â Ayah yang gayanya barangkali seperti tentara Jepang yang suka memerintah dalam bekerja. Ibu yang selalu menjadi tumpuan bila kita ketemu persoalan, ke mana kita berlari untuk menangis.
 Pada foto anak dan istri atau suami, yang selalu kita bawa-bawa dalam dompet dan HP itu, ia adalah simbol. Bahwa orang-orang ini hadir tidak sekadar sebagai hal yang ditangkap oleh pancaindera kita. Namun mereka mewakili rasa cinta dan kebersamaan. Dan sebab itu kita bersedia berkorban bagi mereka. Sesuatu yang tak tampak. Namun kita rasakan ada, dan  begitu dekat. Mereka seperti darah yang mengalir dalam nadi kita.
Dalam makna ini pula kita bisa memahami bahwa salib dan beragam asesoris lain dalam Agama Kristen, namun terutama dalam Gereja Katolik, adalah simbol. Mereka bukan tanda yang berisi informasi atau larangan seperti rambu lalu-lintas: Merah berarti stop, dan hijau silakan lanjut. Mereka mewakili sesuatu yang tak tampak, namun kita yakini telah ada dan menyelamatkan kita.
Ada kehangatan cinta di balik foto-foto itu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H