Tahun 2017 saya terlibat penyuluhan tentang filariasis atau penyakit kaki gajah dengan Guru Besar Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. Dra. Taniawati Supali di sebuah kecamatan di pelosok Pulau Sumba, NTT.Â
Saya harus bicara dalam bahasa ibu di depan puluhan kepala desa, para kepala urusan (Kaur) desa dan tokoh masyarakat untuk menjelaskan perihal penyakit ini.
Sebab di kalangan masyarakat di sana,  secara turun-temurun telah diyakini bahwa  penyakit kaki gajah (Kodi=kpola)disebabkan oleh karena mereka telah menginjak sejenis kepiting beracun yang disebut kura biyo.Â
Keyakinan ini terus-menerus diproduksi dan diwariskan kepada generasi yang baru. Orang Kodi belum paham bahwa penyebab kaki gajah adalah cacing filaria yang ditularkan melalui nyamuk.
Nyamuk mengisap darah seseorang yang mengandung cacing filaria dan terinfeksi, lalu menularkannya ketika menggigit orang lain.Â
Larva cacing filaria ini menetap dalam pembuluh getah bening, berkembang biak di sana dan menyumbat peredaran getah bening, menyebabkan kaki membesar seperti kaki gajah sampai pada pembesaran buah pelir yang disebut klahi dalam bahasa setempat.
Ketika berbicara di kantor kecamatan, semua peserta manggut-manggut, paham tentang hal ini, apalagi disertai dengan gambar-gambar yang menarik dan dipancarkan melalui proyektor slide.Â
Tetapi kondisi berubah ketika berada di lapangan. Pemahaman warga yang sudah berakar tentang hal ini susah dibongkar.Â
Tidak saja pada penyebab kaki gajah, tetapi juga pada obat-obatan yang diberikan kepada mereka yang sudah terjangkit atau yang berpotensi terjangkit penyakit ini.Â
Masyarakat mengira obat-obatan tersebut adalah obat KB yang akan membuat mereka mandul dan tidak punya anak lagi, dan macam-macam persepsi lainnya.Â