Banyak orang menyangka kalau bunga bangkai (amorphophallus titanum) sama dengan bunga rafflesia (rafflesia arnoldii). Mungkin karena sama-sama menebar bau busuk pada suatu ketika. Padahal fisik keduanya jauh berbeda.
Kalau mawar menarik kumbang dengan wanginya-sebab itu kerap menjadi syair lagu dan puisi-Bunga Bangkai dan Bunga Rafflesia juga menarik kumbang dan serangga lainnya. Tapi bukan dengan wangi, namun sebaliknya dengan bau busuk menyengat. Tapi wangi di sini menurut siapa, kumbang atau manusia? Hehehe.
Tetapi baik "wangi" maupun "busuk", tujuan mereka satu: Untuk menarik perhatian serangga, seperti lalat dan kumbang supaya mendekat dan membantu proses penyerbukan bunga.
Demi berlanjutnya keturunan. Untuk berkembangbiak.
Sekarang muncul Porang (Amorphophallus Paeoniifolius), yang sedang ramai dibudidayakan, sebab ia memiliki banyak manfaat. Di Sumba, belum massif diusahakan, namun cukup banyak petani yang mulai menanamnya. Eh, tiba-tiba harga jualnya anjlok. Sebab begitu ramai, namun tak jelas "jalur" penjualannya. Atau-seperti biasa-para pengepul selalu ingin mendapat untung lebih besar dari petani yang selalu tidak berdaya.
Menurut Floribertus Rahardi, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Trubus, porang, iles-iles termasuk dalam "keluarga" Â Amorphophallus muelleri.Sementara Amorphophallus paeoniifolius itu disebut suweg, elephant foot yam. Porang.
"Semua spesies dalam genus Amorphophallus berbau busuk," kata Rahardi lagi pada saya.
Baik "porang" yang umbinya dijual, maupun "bunga bangkai" yang menebar bau busuk, sama-sama disebut "Kabota" dalam dialek suku Waijewa dan Loura, atau  "kbo'ta" pada lidah orang Kodi di Pulau Sumba, NTT.
Tak salah. Karena porang maupun bunga bangkai sama-sama dari "marga" amorphophallus. "Amorphos" artinya "bentuk yang rusak" dan "phallos" sama dengan  penis atau alat kelamin laki-laki. Jadi, bunga bangkai bisa juga disebut "alat kelamin laki-laki, yang rusak".
Namun Febry Silaban yang mendalami bahasa Latin memberi koreksi kepada saya. Kata "amorphos" yang merupakan kata Yunani sebenarnya berarti "tak berbentuk" atau "tak jelas" (a= tidak; morphe=bentuk). Jadi, bukan "rusak".
"Amorphophallus" sebenarnya berarti: Penis yang tak jelas, penis yang tak berbentuk.