Efraim masuk SMA Kristen Payeti, di sisi timur kota ini. Jika ada sedikit uang, ia naik bemo ke sekolah. Pulangnya jalan kaki. Tapi naik bemo tidak bisa setiap hari. Ia lebih banyak berjalan kaki dengan 'memotong' jalur melewati perkampungan dan menyeberang sungai. Jarak lebih ringkas, hanya 3 km.
"Langgar sungai, terus masuk Praiwora, jalan sedikit sudah sampai sekolah," ujarnya. SMA Kristen Payeti berada tak jauh dari RS Lindi Mara Waingapu. Â
Lapar dan haus hal biasa bagi Efraim. Apalagi Waingapu luar biasa panas hampir di sepanjang tahun. Pada musim hujan kendala lain segera menanti, yakni sungai Payeti yang banjir. Kalau arus terlampau deras, ia memilih berjalan kaki menyusuri jalan beraspal, meskipun jarak bertambah jauh dua kali lipat.
Arisan Pendidikan
Ketika masuk SMA dan kuliah, Â keluarganya di Ramuk menjalankan "arisan pendidikan". Ibundanya memiliki 10 orang saudara kandung. Keluarga besar sepakat, setiap anak sulung dari masing-masing keluarga menjadi prioritas yang akan dibiayai pendidikannya dengan cara "kumpul tangan". Setelah para anak sulung ini berhasil, merekalah yang akan mendukung sekolah adik-adiknya.
"Setiap keluarga kumpul Rp50 ribu per bulan. Kalau lancar berarti ada Rp500 ribu tiap bulan. Dikali 12 bulan berarti Rp6 juta setahun. Uang ini untuk bayar uang sekolah, untuk registrasi kuliah, makan-minum dan keperluan lainnya. Keluarga kami semua petani yang miskin, jadi arisan satu-satunya cara untuk saling bantu," jelas Efraim, anak pertama dari enam bersaudara itu. Â
Meskipun uang arisan ini sangat membantu, namun tak bisa menutupi semua kebutuhan sekolah maupun kuliah. Sebab itu Efraim mencari jalan lain. Yakni menanam sayur-sayuran untuk dijual. Atau mengambil jeruk nipis dari Ramuk dan dijual lagi di Waingapu. Pernah juga ia menjual tempe dan tahu.
"Jual keliling dengan jalan kaki. Sambil dipikul atau dijunjung di kepala. Untuk bantu orang tua bayar uang registrasi. Adik-adik yang tinggal di sini juga begitu. Pokoknya kami tidak boleh malu. Saya bilang sama adik-adik, kita harus malu kalau minta-minta sama orang," tegas Efraim.
Efraim hanya menyayangkan belum semua keluarga di desanya memprioritaskan sekolah bagi anak-anak mereka. Orang tua di sana, kata dia, masih mengutamakan pesta adat.
"Kalau untuk kasih sekolah anak tidak ada biaya. Tapi buat pesta adat, mereka utang juga bisa," ucapnya sedikit kesal.
Kini dua orang dari keluarga besarnya sedang menempuh kuliah di Waingapu. Yang lain masih di SMA. Juga dibiayai dengan cara "kumpul tangan" seperti sudah dilakukan terhadap Efraim.
Jalan masih panjang buat Efraim. Namun setidaknya ia telah melewati satu tahapan dalam hidupnya, kuliah dan bekerja sesuai keahliannya. Meskipun demikian, ia tak lupa akarnya, sebagai anak petani miskin dari Ramuk. Untuk itu, ia kini mulai melakukan misinya dengan membiayai sekolah adiknya yang akan berkuliah di Poltekkes yang sama.