Kalau pensiun dimaknai sebagai tidak bekerja kantoran lagi, atau tidak mengikat diri pada sebuah lembaga tertentu lagi, sudah saya lakukan semenjak 2017 silam. Berarti sudah lima tahun saya pensiun. Ketika belum genap berusia 45 tahun. Dan memilih "hidup bebas" dengan berbagai konsekuensinya. Apalagi yang dicari ketika secara manajerial sudah menduduki posisi puncak? Menjadi pemilik media di tempat saya bekerja? Kemungkinannya kecil. Maka saya pikir cukup sudah. Enough is enough. Masih banyak hal lain yang bisa dikerjakan selain "stres" memikirkan deadline, pengembangan, dan lain-lain hal yang menyita waktu untuk menulis. Â Karena menulis bagi saya adalah sebuah kesenangan. Nikmat sangat! Â Apalagi kalau dibayar dan hanya "membawa badan" ke suatu tempat yang baru.
Pertanyaan utama dari "topik pilihan" Kompasiana adalah berapa besar dana pensiun yang dipersiapkan dan beberapa pertanyaan utama lain yang terkait itu. Dasar pemikirannya (barangkali) mengikuti garis kebijakan pensiun di kalangan pegawai pemerintah, yang kemudian diadaptasi oleh kalangan swasta yakni, pada usia tertentu, misalnya 55 tahun seseorang harus stop bekerja pada lembaga atau kantor tersebut. Topik ini penting karena (barangkali) sebagian masyarakat kita berada pada area itu.
Dan selanjutnya bagaimana?
Praktis saja. Hidup harus terus berlanjut. Show must go on! Anak-anak yang hadir karena keputusan menikah mesti terus dibiayai sekolahnya. Kalau bisa setinggi-tingginya. Dan alhamdulillah, bisa tercapai.
Makan, pakaian, rumah, tabungan, ya tetap diupayakan. Maka kalau sakit, selain BPJS ada asuransi swasta yang bisa dipakai. Anak mau masuk sekolah, ada bagian yang bisa dicairkan. Sebab, ada banyak hal yang bisa diprediksi akan terjadi, meskipun juga ada banyak hal yang tidak bisa diprediksi akan terjadi kapan dan bagaimana? Kecuali bersiap-siap. Sedia payung sebelum hujan.
Apakah ada persiapan khusus? Tidak ada juga. Kecuali terus menjaga hubungan baik dengan kolega yang sudah terjalin selama 20 tahun bekerja kantoran itu. Saya selalu pegang prinsip: Jangan pernah merusak "jembatan" penghubung, Â baik per orangan maupun dengan lembaga. Sebab kelak, pada suatu hari nanti, "jembatan" ini akan tetap dipakai. Dan ternyata demikian.
Akhirnya keputusan diambil, menjadi freelance. Penulis dan wartawan freelance. Mungkin belum biasa di Indonesia, namun banyak teman yang saya kenal sudah melakukannya. Dalam hal ini,  sependek yang saya alami, kuncinya adalah pada jejaring dan kemampuan "menjual" diri. "Jual diri"lah secara maksimal dan dengan cara terhormat. Dan tentu juga bersikap baik kepada klien. Antara lain, tidak merasa paling pintar dan hebat sendiri. Sebab hidup yang bersegi-segi ini juga mengandalkan "liyan". Orang lain di luar diri dan kelompok kita. Simbiosis mutualisme. Ini hukum dasar makhluk hidup!
Apakah dengan begitu, saya akan menganjurkan Anda segera saja pensiun dan menjadi freelance? Wah, mana bisa begitu? Setiap orang memiliki latar belakang dan cara hidup yang khas. Lain lubuk lain ikannya. Lain padang lain belalang.Â
Barangkali ini yang membuat hidup lebih semarak. Juga menjadi lebih berarti!
Selamat "pensiun" dan menjadi freelance!
 Â