Bogor, kota yang dibangun (kembali) Kapten Tanujiwa (1689 -- 1705) adalah kota dengan curah hujan tertinggi di Indonesia. Maka julukannya tepat: Â Kota Hujan.
Ulang  tahun Bogor jatuh pada setiap tanggal 3 Juni demi mengingat kembali penobatan Sri Baduga Maharaja-yang  lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi-sebagai  Raja Pajajaran pada 3 Juni 1482. Maka sesungguhnya kota ini sudah berusia 540 tahun.
Pakuan atau Pajajaran, ibu kota pemerintahan Kerajaan Padjajaran,  diyakini terletak di Kota Bogor dan menjadi pusat pemerintahan Prabu Siliwangi. Tetapi begitu diserbu  tentara Banten, catatan mengenai Kota Pakuan hilang, dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin Scipio pada tahun 1687 dan Abraham van Riebeck pada tahun1704 dan 1709. Mereka melakukan penelitian atas Prasasti Batutulis dan beberapa situs lainnya, dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Pajajaran terletak di Kota Bogor.
Pada tahun 1745, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff membangun Istana Bogor seiring dengan pembangunan Jalan Raya Daendels yang menghubungkan Batavia dengan Bogor. Bogor direncanakan sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal. Dengan pembangunan-pembangunan ini, wilayah Bogor pun mulai berkembang.
Setahun kemudian, van Imhoff menggabungkan sembilan distrik (Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Dramaga, dan Kampung Baru) ke dalam satu pemerintahan yang disebut "Regentschap Kampung Baru Buitenzorg". Di kawasan itu van Imhoff kemudian membangun sebuah Istana Gubernur Jenderal. Dalam perkembangan berikutnya, nama Buitenzorg dipakai untuk menunjuk wilayah Puncak, Telaga Warna, Megamendung, Ciliwung, Muara Cihideung, hingga puncak Gunung Salak, dan puncak Gunung Gede.
***
Meskipun sudah menjadi tempat peristirahatan dan banyak orang Belanda yang datang ke sana, namun belum ada gereja di  Bogor. Kawasan Sunda dan Banten sejak awal sudah  diproteksi pemerintah Hindia Belanda. Dilarang memberitakan Injil  ke dalam dua kawasan ini karena mayoritas penduduk sudah memeluk agama Islam. Jika izin diberikan, pemerintah khawatir keamanan dan ketertiban di daerah-daerah ini akan terganggu. Tetapi akhirnya pada tahun 1873, setelah hampir 130 tahun,  pemerintah Hindia Belanda mencabut aturan tersebut.
Ternyata benar. Kawasan Sunda dan Banten sangat sukar dimasuki Injil. Ambil contoh lembaga Perhimpunan Pekabaran Injil Belanda NZV (Nederlandsche Zendingsvereeniging) yang mulai berkarya pada 1863 di Batavia. Â Para penginjilnya dikabarkan putus harapan karena tidak memperoleh hasil yang berarti di Tanah Pasundan. Penduduk pribumi yang menjadi Kristen bisa dihitung dengan jari. Orang Kristen saat itu kebanyakan orang Eropa dan etnis Tionghoa. Pada tahun 1870 para tenaga NZV di Jawa Barat menulis rekomendasi ke kantor pusat di Rotterdam. Mereka bilang, daripada buang-buang tenaga dan duit, Â sebaiknya NZV berkarya ke daerah di luar Jawa saja.
Tetapi baru pada tahun 1913 mereka benar-benar keluar dari Jawa Barat dan beralih ke Sulawesi Tenggara. Serta-merta Pekabaran Injil  Protestan kosong di Jawa Barat, meskipun ada jemaat-jemaat kecil yang sudah terbentuk. Ada juga gereja Katolik yang hadir di sana sejak 1889 dan mulai "memisahkan diri" dari induknya di Jakarta. Kekosongan ini berlangsung selama kurang-lebih 33 tahun, sampai pada tahun 1946 ketika lembaga Pekabaran Injil (PI) VNZ (Verenigde Nederlandse Zendingscorporaties)  menggantikan NZV di Jawa Barat.
***
Sesungguhnya 12 tahun sebelum NZV masuk ke Jawa Barat  sudah ada lembaga Pekabaran Injil partikelir yang mulai menginjili di sekitar Jakarta. Mereka menamakan diri "Genootschap van In-en Uitwendige Zending te Batavia"  (GIUZ) atau Lembaga Penginjilan di Dalam dan di Luar Batavia, berdiri di Jakarta pada  1851 oleh Frederik Lodewijk Anthing dan Pendeta E.W.King.