Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Desa Kristen Blimbingsari dan Palasari Bali

24 Agustus 2022   18:27 Diperbarui: 24 Agustus 2022   18:32 3351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Katolik Hati Kudus Yesus di Desa Palasari (Sumber: Pegipegi.com)

Sepulang dari Sumba saya sengaja berkunjung ke kantor Sinode Gereja Kristen Protestan  Bali (GKPB) di Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Keesokan harinya saya ke Desa Kristen Blimbingsari dan Palasari yang berjarak 120 kilometer dari Denpasar, tetapi hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari Pelabuhan Penyeberangan Gilimanuk.

***

Andai Jacob de Vroom tidak dibunuh oleh pembantunya sendiri pada 8 Juni 1881, barangkali Pekabaran Injil (PI) tidak akan terlaksana di Bali. 

Entah apa motifnya, tetapi belakangan terungkap bahwa I Klana si algojo dibayar oleh Oedin, orang Banten, pembantu di rumah de Vroom. Dan Oedin sendiri dibayar oleh  I Gusti Wayan Karangasem, orang Bali satu-satunya yang menjadi Kristen waktu itu, hasil penginjilan de Vroom sendiri.

Pemerintah Hindia-Belanda menjadikan pembunuhan de Vroom sebagai alat untuk mengambil tindakan melindungi Bali dari pengaruh orang Kristen. Sejak itu Bali "tertutup" bagi usaha PI.

Begitulah, sejak de Vroom dibunuh tidak ada usaha PI di Bali yang kelihatan dan dapat dicatat dalam buku sejarah.

Periode Baru

Periode baru penginjilan di Bali dimulai tahun 1929 oleh Salam Watijas yang menjadi utusan British and Foreign Bible Society. Watijas dibaptis oleh  Van Engelen yang bekerja untuk Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jawa Timur. Watijas adalah polisi pemerintah.

Watijas diutus sebagai "penjual" buku-buku rohani. Meskipun pernah diracun dan hampir mati ketika pertama menginjakkan kakinya di Bali, ia tetap penuh semangat berkeliling  daerah-daerah di Bali: Singaraja, Tabanan, Denpasar, Gianyar, Bangli, Negara, Klungkung dan pelosok-pelosok lainnya. 

Penduduk Bali gemar membaca buku-buku yang ia jual, antara lain Injil Lukas dan Orti Rahayu karangan Dane Lukas. Terutama karena kedua buku ini menggunakan bahasa Bali. Hasil PI Watijas adalah pada tahun 1930 terdapat 80 orang Bali yang dibaptis.

Setelah pembaptisan itu Christian Missionary Alliance (CMA) melihat ada "celah" yang bisa dimasuki untuk PI di Bali. Mereka minta ijin kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia agar boleh melayani orang-orang Cina di sana. CMA didirikan oleh Dr. Albert Benjamin Simpson pada 1887 di Amerika Serikat yang memobilisasi orang-orang Kristen untuk melakukan misi di luar negeri. 

Mereka terpanggil memberitakan Injil ke berbagai daerah dan harus dilakukan secepat mungkin karena Hari Tuhan sudah dekat sesuai dengan doktrin yang mereka yakini.

Karena itu CMA lebih mementingkan orang dibaptis menjadi Kristen daripada mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit dan yaysan sosial. CMA memusatkan diri di Makassar di mana mereka mendirikan Gereja Kemah Injil dan sebuah sekolah yang mendidik penginjil-penginjil untuk disebar ke berbagai daerah. Ibunda sastrawan Remy Sylado pernah menjadi Ibu Asrama  di sana, sebelum mereka pindah ke Semarang, Jawa Tengah.

Menimbulkan amarah

Utusan CMA yang bernama Tsang To-Hang dalam waktu singkat berhasil membaptis tidak hanya orang Cina tetapi juga banyak orang Bali. Tetapi di sisi lain Tsang To Hang mulai berani mengkritik budaya Bali. Pada kesempatan lain bahkan ia berani membongkar Pura sebagai bukti orang Bali yang masuk Kristen tidak lagi memberikan sajen-sajen.

Tentu saja ini menimbulkan kemarahan masyarakat Bali yang beragama Hindu. Orang Kristen Bali dianggap mendurhakai nenek-moyang dan menjadi antek-antek negara asing. Oleh karena itu mereka ingin mengasingkan orang-orang yang percaya kepada Kristus ini. 

Orang-orang yang telah menjadi Kristen dipanggil oleh penguasa setempat. Mereka dicaci maki, dipukuli, harta bendanya diambil,dianiaya dan sebagainya. Sawah-sawah para petani Kristen tidak mendapatkan jatah air. 

Saluran yang menuju ke sana ditimbun lumpur dan batu-batu.  Begitu juga jika ada yang meninggal. Sulit sekali dimakamkan, sebab seluruh tanah pemakaman di Bali adalah milik orang Hindu. Mayat disimpan berhari-hari sampai membusuk karena sukar mendapatkan tempat pemakaman.  Orang Bali-Kristen dianggap pelanggar adat.

Pada zaman kerajaan di Bali, para pelanggar adat akan dihukum mati. Tetapi pemerintah Hindia Belanda menggantinya menjadi pembuangan (maselong) seumur hidup di Parigi, Sulawesi. 

Kemudian diubah menjadi pembuangan 10 tahun di Lombok atau kepulauan lain di luar Bali. Lalu diubah lagi menjadi pembuangan tiga tahun ke Jembrana di Pulau Bali dan kemudian tersisa setahun masa pembuangan.

Orang Bali yang dengan berani masuk Kristen dan apalagi membongkar Pura dianggap oleh orang-orang Hindu Bali telah melanggar adat dan wajib di "selong" ke Jembrana. Dipilih Alas Cekik,  hutan paling angker, penuh binatang buas dan rawan penyakit Malaria.  

Maka kepergian dua kendaraan yang mengangkut 30 orang Kristen pada tahun 1939 ditangisi oleh kerabat  sebab dipikir itulah perjumpaan yang terakhir. "Mana ada yang bisa selamat setelah masuk ke Alas Cekik?" batin mereka.

Orang Bali-Kristen yang di "selong" kemudian bermukim di daerah yang kini mencakup dua desa yakni Blimbingsari yang seluruh penduduknya beragama Protestan  dan bersekutu dalam Sinode Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) serta Palasari yang menganut agama Katolik.

GKPB hanya beranggotakan 14 ribu anggota jemaat. Tetapi mereka memiliki aset berupa tanah, bangunan dan sekolah di 80 lokasi di seluruh Bali dan Nusa Penida yang angkanya mencapai ratusan miliar rupiah. "Tidak besar sekali, tetapi cukuplah untuk kami bisa bergerak melayani," Nengah Suama Sekretaris Umum Sinode GKPB merendah.

***

Dari kantor Yayasan Maha Bhoga Marga (MBM) milik Sinode GKPB di Jalan Raya Kapal di Mengwi, sisi barat Denpasar, jalan mulai menyempit di sana-sini. Padahal, ini jalan utama yang menghubungkan Gilimanuk-Denpasar yang penuh truk gandeng dan bus kota antar provinsi, baik dari Bali maupun  Jawa.

Gerbang Desa Blimbingsari (Sumber: jadesta.kemenparekraf.go.id)
Gerbang Desa Blimbingsari (Sumber: jadesta.kemenparekraf.go.id)

Saat matahari seperti mengejar punggung kami, I Wayan Nengah telah menginjak gas dalam-dalam.

"Paling lama tiga jam kita sudah sampai Blimbingsari," ujarnya memberi jaminan.

Kami mengikuti saran Wayan Tunas, pengelola penginapan MBM untuk berangkat pagi-pagi agar  tidak kena macet saat berangkat maupun ketika pulang ke Denpasar nanti. 

"Tak kalah sama Jakarta kalau sudah macet," kata Wayan Tunas.

Wayan Tunas asli Blimbingsari, pemeluk Protestan generasi kedua dari Bali. Sementara  I Wayan Nengah orang Klungkung.

Untuk bisa membedakan Wayan Tunas,  Wayan Nengah,  Nengah Suama, saya mesti berpikir sejenak.

 Sekitar dua jam kemudian. Tiba-tiba saja Wayan Nengah yang suka bercerita tentang tempat-tempat yang kami lewati berbelok ke kanan, menapak jalan beraspal mulus, melewati gerbang desa: Rahajeng Rawuh Ring Blimbingsari.  Selamat Datang di Blimbingsari.

Kami tiba di Desa Kristen Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana di ujung Barat pulau Bali.

Desa yang asri dengan taman yang dipangkas rapi, pekarangan yang ditumbuhi pohon buah-buahan dan rumah-rumah dengan "pagar hidup". Setiap rumah dibatasi tanaman setinggi pinggang orang dewasa.

Barangkali beginilah hidup di desa. Satu sama lain saling menjaga. Rasa saling memperhatikan membuat mereka tidak mambangun pagar tembok yang tertutup seperti di Jakarta.

Berselang sepuluh menit, sebelum melewati tugu  yang membagi desa Blimbingsari menjadi empat kawasan, kami belok kiri masuk pastori Blimbingsari. Sekumpulan gedung dan aula milik gereja merubung di sekitarnya. Depan pastori, setelah melewati halaman yang lapang, berdiri gereja PNIEL dalam arsitektur Bali. Persis di depan gereja terdapat gedung Nitigraha, kantor Perbekel Desa Blimbingsari.

GKPB PNIEL Blimbingsari (Sumber:  jadesta.kemenparekraf.go.id)
GKPB PNIEL Blimbingsari (Sumber:  jadesta.kemenparekraf.go.id)

Melihat Blimbingsari dari udara barulah kita paham bahwa jalan utama yang membagi desa ini dibuat seperti salib. Dari arah utara ke selatan, dibuat jalan panjang, seolah-olah tempat tubuh Yesus, mulai dari kepala hingga kaki terpacak paku. Sementara dari barat ke timur adalah jalan yang lebih pendek, sebagai tempat tangan Yesus yang dipaku di kayu salib. 

Di depan pastori berdiri menyambut Christiana Welda Putranti, pemimpin jemaat GKPB Blimbingsari. Saat kami sedang "kebut-kebutan" di jalan,  saya baru meneleponnya hendak bertamu ke Blimbingsari. Beruntung hari itu dia agak senggang.

 "Bisa kalau hanya ngobrol satu jam," ujarnya dari seberang. Mendengar dialeknya saya yakin tidak sedang berhadapan dengan orang Bali. 

"Saya dari Wonosobo, Jawa Tengah," ujarnya sembari tertawa.

Pendeta Welda lahir di Wonosobo. Ia bertumbuh dalam tradisi Gereja Kristen Jawa (GKJ). Ketika akan menempuh pendidikan pendeta di Fakultas Teologi Universitas Duta Wacana di Yogyakarta, ia memperoleh rekomendasi dari GKJ. Namun pernikahanlah yang membawanya menetap di Bali. Ia kini terkait dengan GKPB.

"Mula-mula saya mendampingi suami  yang bertugas di GKPB Jemaat  Gilimanuk," jelas Welda. Suaminya,  I Putu Yosia Yogiarta  adalah pemimpin jemaat  di GKPB Sion Melaya, GKPB Gilimanuk dan bakal jemaat Candi Kusuma, tak jauh dari Blimbingsari.  Kekurangan tenaga pendeta membuat sang suami merangkap tugas.

Apa boleh buat. Pendeta Welda sekalian saja menjadi pendeta Gereja Bali. "Dua tahun masa vikariat lalu ditahbiskan pada 31 Agustus 2012 di Blimbingsari," kata dia.

GKPB Blimbingsari terdiri atas 172 kepala keluarga. Sekitar 630 jiwa anggota jemaat. Sebagian besar adalah warga senior. Sisanya keluarga muda. Tahun 1990-an Blimbingsari hampir menjadi "desa mati" karena semua orang mudanya bekerja ke Denpasar atau melanjutkan studi ke Jawa. Ada yang pulang ke Blimbingsari. Namun lebih banyak yang enggan kembali. Desa hanya didiami oleh warga senior.

"Dulu komunikasi dan transportasi belum selancar sekarang, jadi wajar kalau selesai kuliah mereka memilih tidak kembali. Angkatan yang tidak pulang inilah yang kami sebut jemaat diaspora," kata Welda.

Tetapi yang membuat Welda prihatin saat pertama datang ke Bali adalah adat "kawin lari" yang dianggap sah di kalangan masyarakat Bali yang mayoritas memeluk agama Hindu. Kebiasaan ini juga berimbas ke gereja.

Seorang anak perempuan Kristen menjalin hubungan dengan laki-laki beragama Hindu. Suatu hari ia pamit keluar rumah. Menjelang sore belum juga kembali. Esok pagi datang  utusan dari keluarga laki-laki dan bilang 'Putri  Bapak-Ibu sudah menikah. Jangan dicari lagi'.

Sesederhana itu.

Mengapa  tidak lapor polisi? "Jemaat bilang mereka sudah dewasa," jawab Welda.

Sisi lain yang mengkhawatirkan Welda adalah teknologi komunikasi yang merasuk ke Blimbingsari. Jika tidak mendapat perhatian serius, teknologi ini seperti pisau bermata dua yang diam-diam akan mencerabut identitas kaum muda Blimbingsari.

 "Identitas mereka adalah orang Bali yang Kristen dan para pendahulunya memperjuangkan identitas ini dengan pengorbanan yang sangat berat. Dengan teknologi komunikasi yang menawarkan kehidupan gemerlap, saya khawatir mental mereka tidak setangguh para pendahulunya," Welda memberi alasan.  

Desain Desa Blimbinsari (Sumber: jadesta.kemenparekraf.go.id)
Desain Desa Blimbinsari (Sumber: jadesta.kemenparekraf.go.id)

Bagi Welda, pemuda-remaja adalah penerus kekristenan di Blimbingsari. Mereka adalah generasi muda Bali yang beragama Kristen di tengah masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu. Karena itu, "Mereka harus tetap loyal sebagai orang Kristen, tidak sekadar menjadi orang Kristen karena keturunan," tegasnya.

***

Identitas  Blimbingsari sebagai desa Kristen diakui oleh warga dan pemerintah Bali. Karena itu perlu dipertahankan. Salah satu caranya menurut Welda adalah belajar tentang Blimbingsari dan tentang iman Kristen secara sungguh-sungguh.

 "Setiap katekisasi saya minta tatap muka khusus untuk bicara tentang sejarah Blimbingsari. Ini wajib. Kalau ke depan anak dan remaja tidak mendapatkan perhatian yang cukup, saya pikir ini sudah lampu kuning," ujarnya.

Pada mulanya Welda sedikit mengalami "gegar" budaya. Dua puluh tahun hidup di Jawa ia merasakan gereja-gereja sudah sangat Eropa. Budaya Jawa sedikit sekali di"pakai" dalam tata ibadah.

"Setidaknya di tempat saya di Wonosobo, kami sudah seperti kehilangan identitas Jawa di gereja. Secara arsitektur saja tidak terasa ke-Jawaan-nya," aku Welda.

Sebaliknya di Blimbingsari Welda menemukan kekristenan dalam identitas warganya. Orang Bali yang mengimani Yesus dalam cara mereka. Tidak sekadar yang tampak mata: Arsitektur gereja, tarian, penjor, liturgi, khotbah dan pakaian adat Bali. Tetapi di Blimbingsari kekristenan dan ke-Bali-an menjadi laku hidup sehari-hari.

Kami menuju Gereja Pniel di depan pastori. Gereja ini mirip pura. Setiap bagiannya memiliki makna sendiri-sendiri.

 Ada gapura yang disebut Candi Bentar, yakni pintu gerbang dengan dua belahan. Semua pura di Bali mempunyai "Candi Bentar" di depannya sebagai pintu masuk. Konon, Siwa si dewa perusak membelah gunung Himalaya-Meru menjadi Gunung Agung dan Gunung Batur. Kedua gunung inilah yang diwakili oleh "candi bentar".

 Dalam keyakinan Kristen, seperti ditafsir Ketut Suyaga Ayub, S.Th.,  dalam buku Blimbingsari the Promised Land, Candi Bentar telah merujuk pada Injil Yohanes 14:6: Barangsiapa melangkah masuk, maka ia berjalan di jalan Kristus, yang menamakan diri-Nya:  "Aku jalan, kebenaran dan hidup."

Ada Candi Gelung di depan Candi Bentar. Bangunan ini mirip gapura tetapi lebih megah dan tinggi. Terdapat dua pintu  di dalamnya. Tafsirnya adalah, melalui kedua pintu itulah berbagai suku, ras, bangsa dan budaya yang beragam dai seluruh dunia masuk menyembah Allah yang Hidup di dalam bangunan gereja.

Gedung gereja Pniel serba terbuka. Tak ada tembok yang membatasinya. Juga tak ada jendela dan pintu. Udara segar leluasa masuk.  "Jendela" justru terdapat di bubungan, dari mana sinar matahari menerobos ruangan dalam  gereja. Sementara sekelilingnya adalah taman dan kolam yang terus mengalir.

 "Tanah Perjanjian"

Blimbingsari sebagai "tanah perjanjian" sudah diwacanakan I Ketut Suyaga Ayub semenjak tahun 1972.

"Sejarah Blimbingsari mirip dengan sejarah Israel keluar dari Mesir. Ada banyak hambatan dan penderitaan. Oleh karena penderitaan itulah mereka memohon kepada Tuhan untuk dibebaskan dan diberi tanah yang baru. Doa orang Kristen Bali didengar Tuhan,maka Ia mengaruniakan tanah Blimbingsari kepada mereka," ujar Suyaga Ayub di kediamannya, di Puri Eling, Blimbingsari.

Mantan Bishop GKPB ini juga percaya bahwa orang Blimbingsari adalah kaum yang terpilih dari lingkungan masyarakat luas di Bali saat itu.

"Seluruh penduduk di  Blimbingsari Beragama Kristen. Dan orang Kristen yang terpilih tadi, memiliki misi yakni menjadi  terang dan berkat bagi bangsa-bangsa," ujarnya lagi.

Tahun 2011 Blimbingsari terpilih sebagai pusat pengembangan desa wisata. Atas pilihan ini Suyaga Ayub yakin bahwa Allah turut bekerja untuk menjadikan Blimbingsari menjadi terang dan berkat bagi bangsa-bangsa.

"You are chosen to be a light and bless for the world," pungkasnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun