Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Frans W.Hebi: Kebaikan Berbuah Kebaikan

18 Agustus 2022   13:42 Diperbarui: 18 Agustus 2022   13:46 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak Frans W. Hebi (Sumber: Radiomaxfm.com) 

FWH terus mengikuti kelas kami, kelas A2 Biologi, sampai selesai. Nilai bahasa Indonesia saya selalu 8. Ternyata Bahasa Indonesia itu pelajaran yang sukar juga. Setidaknya bagi beberapa teman sekelas yang sukar membedakan mana subyek-predikat-obyek dari sebuah kalimat. Tetapi sebaliknya teman-teman ini sungguh encer isi kepalanya kalau pelajaran matematika.

Karena nilai saya selalu bagus, saya percaya diri kalau FWH mengajar. Saya bertanya ini-itu. Juga mulai mengisi majalah dinding. Suatu kali, entah di kelas 2 atau 3 SMA, FWH memberi pujian. Saya tidak ingat persis perkataannya, tetapi kira-kira begini: Alex punya bakat menulis. Tekuni saja!

Poin ini sangat berpengaruh bagi saya. Ada pengakuan dari orang yang saya kagumi. Seorang wartawan pula. Apalagi ketika itu saya mulai pacaran. Hanya menulis yang bisa saya "eksploitasi" untuk kelihatan 'wah' di depan pacar.

Jauh hari setelah itu, ketika saya benar-benar hidup dari profesi sebagai wartawan, saya  melihat bahwa faktor FWH menjadi sebuah "titik" yang saya hubungkan dengan "titik-titik" yang lain dalam pengalaman hidup saya. Semua "titik" itu kian menjernihkan pilihan hidup sebagai wartawan. Dan sebagai orang Katolik saya mengimani bahwa seperti itulah cara Allah bekerja dalam hidup manusia.

Sampai saya kuliah di Yogya tahun 1992, saya sudah "lupa" dengan FWH.  Ingat lagi ketika Martha Hebi putrinya bersekolah ke sana. Ada sebuah peristiwa menarik terkait Martha. Terjadi sekitar Juni tahun 1994. Saya jemput Martha di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Bersamanya ada rombongan nona-nona. Mau lanjut kuliah di Yogya juga.

Dari Tanjung Perak ke Terminal Bungurasih kami naik mobil sewa. Tetapi di tengah jalan sopir berhenti. Ia mulai mengeluh soal jarak yang jauh. Kata dia tarif yang kami sepakati terlalu kecil. Lalu dua temannya yang pakai motor ikut bergabung. Suasana mulai memanas ketika mereka minta tambah ongkos. Nadanya memaksa. Saya berpikir, kalau berkelahi pasti kalah. Tiga laki-laki dewasa akan mengeroyok saya. Lalu saya bilang: Lihat kartu ini. Kalau kalian macam-macam, besok pagi ada berita pemerasan di koran. Kalian akan ditangkap polisi.

Rupanya "gertakan" saya termakan oleh mereka. Urusan selesai. Kami diantar sampai terminal. Saya masih ingat, "kartu pers" yang saya pakai itu dikeluarkan oleh Majalah Warta yang diterbitkan Keluarga Mahasiswa Katolik Sumba (KMKS). Saya salah satu pengasuhnya. Pokoknya bergaya sekali waktu itu.

Rupanya Martha mengabari FWH soal gertak sambal pakai kartu pers itu. "Alex, Bapa bangga sekali waktu saya beritahu itu sopir digertak pake kartu pers," kata Martha. Saya senang mendengar kabar itu. Tetapi setelah menjadi wartawan benaran, tidak pernah sekalipun---tidak sekalipun!!---saya  mengeluarkan kartu pers untuk menggertak orang. Saya juga yakin FWH bukan senang karena gertakan saya. Ia senang karena ada muridnya yang juga (ingin) jadi wartawan, profesi yang tidak populer di Sumba.  Kesimpulan saya ini terkonfirmasi saat kami bertemu muka.

Ketika saya berada di Waingapu, untuk mewawancarai orang-orang  terkait penulisan biografi dokter Amsal Ginting, Manager  Wilayah Wahana Visi Indonesia Sumba Timur, yang meninggal karena operasi yang gagal di Jakarta, saya bertandang  ke Kalu, di kediaman FWH.

"Tanya saja rumah Bapa Manis. Semua orang tahu," kata Heinrich Dengi, Direktur Radio Max FM. FWH sering disapa "Bapa Manis" oleh para koleganya. Entah bagaimana sejarah pemberian nama ini?

Memang benar. Rumah pertama yang kami tanyai langsung menunjuk kediaman mereka. Waktu itu FWH dan Mama Elizabeth istrinya, tidak berada di rumah. Mereka sedang berada di rumah tetangga di seberang kali. Keluarga itu sedang  syukuran. Mendengar saya ada di rumah, FWH tergopoh-gopoh datang. Ia  meninggalkan acara syukuran. Saya sampai tidak enak hati. Tetapi senang juga karena kami bisa ngobrol berjam-jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun