Buku "Wahana Visi Indonesia di Sumba Timur: Transformasi Anak-Anak Padang Savana" adalah buku berisi praktik baik WVI selama 15 tahun berkarya di Kabupaten Sumba Timur, NTT.Â
Ini juga menjadi buku paling baru yang saya tulis dan nanti jika tak meleset, pada 7 September 2022 akan diluncurkan di Waingapu, Sumba Timur. (Sebagai catatan, WVI sudah berkarya di Pulau Sumba dan pulau-pulau lain di NTT sekurangnya dalam 25 tahun terakhir ini melalui banyak program)
Hampir tiga minggu saya berkeliling ke sudut-sudut selatan Kabupaten Sumba Timur bersama dua staf WVI, nona Herlin Day Mapar dan Maria Konga Wandal. Sopir yang berganti-ganti setiap dua hari: Aris, Semuel dan Marlon. Memasuki lokasi yang terpencil dan sukar, pada akhir Maret hingga minggu kedua April 2022. Kami melewati savana yang luas, bukit dan lembah, menyeberangi puluhan sungai, yang untungnya dilakukan di awal kemarau. Jika "belanja" bahan buku ini dilakukan pada musim penghujan, yakinlah mobil double gardan juga tak mempan. Paling handal ya, berjalan kaki.
Kondisi lebih sulit dialami oleh para staf lembaga ini ketika pada 2006 mereka melakukan penjajakan dan menjalankan program di sana. "Semua staf pasti pernah jatuh dari motor," kata Ainun Oktavianus, salah satu staf yang melakukan "babat alas" di sana.Â
Tetapi Agus Mandina Horung, lelaki bujang asal Lewa itu pengecualian, yang entah kenapa menjadi anomali, sebab 11 tahun berkarya di sana tak sekalipun ia jatuh dari atas motor.
"Bijak saja. Kalau banjir ya jalan kaki. Kalau air selutut ya, naik motor," praktis saja ia menjawab.
Kerap Agus diseberangkan oleh warga dengan dipikul. Baik dia maupun motornya. Saat sungai banjir. Atau motor ia titipkan saja di rumah warga.
"WVI na, punya banyak teman baik di mana-mana," kata dia sembari ketawa.
Namun selalu ada berkat terselubung. Yakni menikmati alam indah, asli, masih hijau. Maka anggap saja piknik. Bekerja sembari piknik. Menenggak air di savana yang panas, menyuap makanan di atas bukit-bukit karang sembari kaki dibuai angin, cuci muka di bening air sungai; nikmat apalagi yang didustai?
Kecuali, setelah masuk Jakarta saya mesti mengurung diri hampir tiga minggu untuk menyelesaikan buku 144 halaman itu, dari sekitar 50 narasumber.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!