Krontjong  Toegoe
Saya pertama bertemu Andre J.Michiels pada sebuah pelucuran album rohani keroncong di Katedral Jakarta. Suatu siang saya menyambanginya di sanggar sekaligus kantornya di Jl. Raya Gereja Tugu 7, Cilincing. Tangannya masih berlepotan olie. Andre baru saja dari bengkel mengurus "piringan" salah satu truk gandengnya yang pecah. Â
Andre keturunan ke-10 orang Portugis di kampung Tugu.
Menurut dia, Â istilah "keroncong" Â sebenarnya tidak mengacu pada genre lagu tertentu tetapi pada suara atau bunyi alat musik mirip gitar namun lebih kecil ukurannya. Berdawai lima disebut matjina dan berdawai tiga, djitera.Â
"Karena dimainkan dan dominan dengan suara  crong...crong...crong maka disebut keroncong," jelasnya.  Lambat laun nama keroncong dikaitkan dengan genre musik seperti yang kita dikenal saat ini. Kehadiran keroncong di Tugu terkait erat dengan keberadaan orang Kristen di sana.
"Tugu ya Kristen, Tugu ya Keroncong. Tapi jadi aneh juga ya, keturunan Portugis tetapi beragama protestan,he-he-he," terkekeh Andre.
Karena dahulu sebagian besar teluk Jakarta adalah rawa-rawa dan kerap terserang malaria, banyak kaum mardjikers pindah ke kawasan Jakarta yang lain seperti Kemayoran. Mereka yang pindah itu berasimilasi dengan golongan Tionghoa dan Belanda. Sementara yang tetap berada di Tugu membentuk komunitasnya sendiri yang kemudian dikenal sebagai Orang Kampung Tugu dan bertahan hidup dengan bertani, berburu, dan mencari ikan.
Sebagaimana budak-budak asal Afrika di Amerika yang di kala senggang seusai mengerjakan sawah-ladang atau berburu mengisi waktunya dengan bermain blues, musik ratapan kaum tertindas, begitu pula dengan para bekas tawanan yang sudah menjadi kaum mardjikers itu. Â
Mereka membangun suasana gembira di tengah penderitaan sebagai bekas orang buangan di serambi rumah, bawah pohon sambil menikmati indahnya bulan purnama dan sepoi-sepoi angin pesisir membawakan lagu moresco berbahasa Portugis. Asal mula keroncong.