Penghujung Januari 2022. Kami menjumpai kelas yang riuh pagi itu. Ana Paji Jiara, guru di SD Inpres Wunga, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, NTT, sudah lama menunggu kami dari Waingapu, ibukota kabupaten.Â
Perjalanan memakan waktu hampir sejam untuk sampai ke Haharu. Ia mengenakan rok berwarna coklat dipadu kaos kuning. Sepatu hitam yang menyerupai selop melengkapi penampilannya.
Ruang kelas satu dicat hijau muda. Berukuran 4 x 6 meter. Beberapa plafon telah lepas. Menyisakan bolong yang menampakkan kerangka kayu dan seng di atasnya.
Foto Presiden Jokowi dipasang di tembok bagian depan. Masih bersama Yusuf Kalla. Padahal Pilpres sudah beberapa tahun lalu. Kini Wakil Presiden adalah Ma'ruf Amin.
Dan sekujur tembok pada bagian samping dan belakang adalah kontras yang lain. Ia ditempeli beragam gambar dan abjad. Di situ menjadi Zona membaca.
Meskipun tampak lusuh dan kotor, ia tetap menjadi media belajar bagi siswa kelas satu. Kertas hvs bergambar ikan dan panci berisi nasi dipasang berdampingan dengan kertas manila berukuran lebar bertuliskan huruf "Mm" untuk mengeja kata: Mata, mama, makan, mawar, matahari, mobil dan sebagainya. Pada kertas yang lain, masih ditembok yang sama, terdapat gambar jari tangan untuk mengenal bilangan 1-10.
Ana membuka kelas dengan berdoa bersama. Secara Protestan. Para murid kebanyakan memakai seragam pramuka berwarna coklat. Beberapa memakai putih-merah. Alas kaki mereka, sandal jepit, diletakkan di luar kelas. Agar kelas berlantai keramik putih itu tak kotor oleh lumpur. Semua siswa memakai masker.
"Anak-anak hari ini kita belajar Tema 5 tentang 'pengalamanku'," Ana berseru di antara suara riuh 9 orang siswa-siswi kelas 1. Ia berbicara memakai bahasa ibu, yakni bahasa Kambera dalam dialek Haharu.
"Iya Bu guru," sahut mereka riuh dalam bahasa ibu yang sama.
Tetapi Ello belum duduk. Ia masih berkeliling mengoda teman-temannya untuk bermain. Ana datang mengelus kepala Ello dan memintanya duduk. Sebab pelajaran akan segera dimulai. Manto diminta berganti tempat dengannya.
"Sebenarnya siswa ada 17 orang. Tapi 3 anak sakit, yang lain tanpa kabar. Ada yang sudah berbulan-bulan tidak masuk. Mungkin ikut orang tuanya berjualan ke Waingapu," kata Ana.
Para murid kelas 1, dan kelas-kelas yang lain juga, datang dari kampung-kampung di sekitar sekolah. Antara lain dari kampung Walakari, Tanarara dan yang paling jauh adalah dari Desa Talicu, yang berjarak 5 km dari sekolah.
"Paling dekat sudah itu sekitar 1 km. Jalan kaki tiap hari. Ada juga yang diantar pake motor kalau orang tuanya ada motor. Ada yang tinggal 5 km dari sekolah. Mereka jalan kaki ke sini," jelas Ana lagi.
Setelah kelas tenang, Ana melanjutkan pelajaran. Ia menunjuk gambar pada selembar kertas manila yang ditempel di white board di depan kelas tentang 'pengalaman yang menyenangan'.
Hari itu kelas akan belajar tentang pengalaman yang menyenangkan bersama keluarga di rumah. Enam gambar ayah, ibu dan dua anak mereka yang sedang merubung meja makan dan bekerja ditampilkan di papan.Â
Gambar-gambar ini disiapkan sendiri oleh Ana sebagai bahan mengajar. Pada papan tulis, juga dicatat tema dan subtema, materi serta tujuan pembelajaran hari itu.
Masih dalam bahasa kambera, Ana bertanya kepada siswa-siswinya: "Ini gambar apa?"
"Orang," seorang murid berteriak lantang.
"Bapak," sahut yang lain.
"Ibu," jawab seorang siswi.Â
"Anak-anak," seru yang lain.
"Semuanya benar. Bagus sekali," kata Ana kepada mereka.
Kelas berlanjut. Mengeja huruf. Masih dalam bahasa Kambera. Ana bertanya kepada siswa-siswinya:
"Ini huruf apa?"
"A bakul (A besar)," jawab mereka serempak. Masih dalam bahasa Kambera.
"Kalau ini huruf apa?"
"M bakul (M besar)."
Demikian pelajaran terus berlangsung. Yakni menggabungkan huruf: M, N, T dan K. Kemudian membentuk suku kata: UM, UN, UT dan UK.
Ana melepas masker dari wajahnya. Kali ini ia memeragakan cara mengeja suku kata di papan tulis. Sesekali ia memegang perutnya. Anak-anak meniru. Ana mengembuskan nafas mengucapkan suku-suku kata tersebut. Atau mendecakkan lidahnya. Para siswa meniru Ana mengucapkannya.
Kelas jadi riuh. Para siswa tertawa-tawa senang. Mereka seperti sedang bermain saja.
Bahasa Ibu Sebagai Pengantar
Menurut Ana, siswa-siswi di sekolahnya memang lebih banyak memakai bahasa Kambera dalam berkomunikasi sehari-hari. "Boleh dikatakan sekitar 70 persen. Apalagi siswa kelas bawah. Sehingga boleh mengajar memakai bahasa ibu sudah mengena. Anak-anak jadi lebih mudah memahami pelajaran yang diajarkan," ujarnya.
Mengajar memakai bahasa ibu adalah salah satu terobosan INOVASI untuk sekolah-sekolah yang berada di pedalaman seperti Haharu di Kabupaten Sumba Timur. Sebab sebagian besar anak, terutama pada kelas bawah, memakai bahasa Kambera dalam berkomunikasi sehari-hari.
Beruntung pula Ana berasal dari kawasan itu. Bukan guru dari luar daerah. Setiap hari ia memakai bahasa yang sama sebagai penutur asli. Dengan demikian kesulitan ini bisa tertanggulangi.
Program INOVASI adalah kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia untuk mengidentifikasi dan mendukung perubahan dalam hal praktik pembelajaran, sistem, dan kebijakan pendidikan yang secara nyata mampu mempercepat peningkatan hasil belajar siswa di bidang literasi, numerasi dan keterampilan.
INOVASI berkarya di NTB, Kalimantan Utara, Jawa Timur dan NTT. Di NTT ia berkarya di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Kabupaten Nagekeo.
"Ini semua berkat INOVASI yang ajari kami mengajar memakai bahasa daerah. Juga cara mengajar, mengenal huruf dan menggabung huruf. Sebelum INOVASI datang, kami hanya mengajar abjad 'a-i-u-e-o' setiap hari kepada siswa. Jadi anak-anak bosan dan lambat mengerti karena pakai bahasa Indonesia waktu mengajar," kata dia.
"Kalau pakai bahasa sini (Kambera) anak-anak lebih berani menjawab. Faktor bahasa tidak lagi menjadi kendala," ujar Ana lagi.Â
INOVASI melanjutkan program pendidikan dasar dengan basis bahasa ibu di Kabupaten Sumba Timur semenjak diterapkan pada Fase I (2017-2019).
Dalam kajian INOVASI, cara ini ternyata memberi hasil positif. Anak-anak menjadi lebih percaya diri dalam berkomunikasi dan mengemukakan pendapatnya dalam pembelajaran. Hasil belajar mereka pun meningkat.
"Biasanya saya mengajar pakai bahasa sini (ibu) dulu. Kemudian nanti saya campur dengan Bahasa Indonesia. Pengalaman selama ini memang anak-anak lebih bisa menjawab kalau (memakai) bahasa daerah. Mungkin ee, karena setiap hari di rumah, bermain dengan teman, mereka memakai bahasa Kambera," jelas Ana.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikbudristek, Anindito Aditomo menyatakan penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran terutama di sekolah-sekolah yang mayoritas siswanya menggunakan bahasa ibu dalam komunikasi sehari-hari seharusnya diterapkan sejak lama.
"Kalau tidak (menggunakan bahasa ibu dalam pembelajaran), siswa dipaksa belajar dua hal sekaligus. Pertama belajar mengenal huruf latin dan membaca. Kedua, mempelajari bahasa yang asing (bahasa Indonesia). Kesulitannya jadi ganda tetapi hal ini bisa dengan mudah dipecahkan dengan menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar," kata Anindito.
=000=
Gelar sarjana pendidikan baru disandang Ana setelah mengikuti kuliah pada Universitas Terbuka. Ia diwisuda pada 2016. Ana mulai mengajar di SD Wunga sejak tahun 2004.
"Saya tamat dari SMA Kristen Payeti di Waingapu tahun 2000. Empat tahun tinggal di rumah bertani dan pelihara babi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Waktu itu hanya dua orang guru yang mengajar di sini. Lalu saya dan tiga teman dipanggil untuk bantu mengajar. Kami hanya diberi 'uang sabun' oleh kepala sekolah, Rp 20-50 ribu setiap bulan," kata Ana.
"Uang sabun" bukan honor yang diterima karena kerja profesional. Ia lebih sebagai belas kasihan kepala sekolah karena Ana sudah meluangkan waktu mengajar di sekolah yang dipimpinnya.
"Waktu itu saya mau mengajar karena saya lihat hanya ada dua guru di sini. Saya kasihan juga lihat anak-anak. Mereka sudah datang jauh-jauh. Sementara saya hanya kerja bertani. Saya pikir, meskipun hanya lulus SMA pasti saya bisa juga mengajar asal mau belajar," kata Ana tentang keputusannya menjadi guru. Ana sama sekali tak memiliki pengetahuan tentang dasar-dasar mengajar.
Tetapi kondisi Ana ketika kami jumpai pada akhir Januari lalu sudah lumayan. Setidaknya sejak tahun 2018 ia tak perlu lagi berjalan kaki ke sekolah yang berjarak 3 km dari rumahnya. Ia telah memiliki kendaraan, sebuah motor bekas yang dibeli dari Waingapu seharga Rp 5,4 juta.
"Beli motor dari jual babi. Saya rasa capek juga jalan kaki setiap hari selama 14 tahun dari rumah ke sekolah, pulang-pergi," kata Ana. Kini honornya juga---setelah bekerja selama 16 tahun---mencapai Rp 1,9 juta.
Kini hidupnya terbagi antara sekolah dan rumah. Di sekolah ia mengajar generasi muda bangsa ini untuk masa depan mereka, tanpa mempersoalkan seberapa besar gaji yang ia terima. Di rumah ia bertani dan beternak untuk menopang hidup keluarganya sebagai orang tua tunggal.
"Kalau anak-anak sudah bisa membaca itu saya sungguh bersyukur luar biasa. Saya merasa tidak sia-sia jadi guru. Saya gembira sekali," ujarnya. Rasa lelahnya seketika hilang.
Ana hanya salah satu dari ratusan ribu guru di pelosok negeri yang berjibaku mendidik generasi muda Indonesia. Mereka hidup dalam berbagai keterbatasan, tapi tak menyerah.
Mereka juga tak pernah menghitung lelahnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H