Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pantai Kasuari, Tak Tercantum dalam Peta Indonesia

29 Juli 2022   07:04 Diperbarui: 29 Juli 2022   07:11 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musa Kwaito (depan) . dokpri

Saya pernah sampai ke Distrik Pantai Kasuari (PK) di sebelah selatan Merauke. Saking terpencilnya, PK tak tercantum dalam peta Indonesia. Ia terletak di selatan Merauke. Sekarang masuk Kabupaten Asmat.

Setelah mendarat di Sungai Kronkel dari pesawat amphibi---sebab itu bisa mendarat di sungai, laut dan lapangan---kami segera terputus dengan dunia luar. Tak ada sinyal telepon. Tak ada listrik.

Di Pantai Kasuari inilah saya jumpa dengan Musa Kwaito. Ia anak asuh Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI), lembaga kemanusiaan yang bekerja untuk kesejahteraan anak. Lembaga ini biasanya berkarya minimal 15 tahun di sebuah daerah. Entah di mana Musa saat ini?

Musa hampir setiap hari bersama kami. Biasanya ia muncul dengan perahu, dan pamer keahlian mendayung cepat. Ia berdiri di ekor perahu dan membuat perahunya "nungging". Atau kali lain ia membelok sangat tajam hingga separuh badan perahu masuk ke dalam air. Seperti kalau orang naik motorcross. Badannya sangat seimbang. Mungkin karena terbiasa mendayung setiap hari.

Meskipun ada sungai yang mengalir sepanjang tahun di Pantai Kasuari, yakni Sungai Kronkel, namun airnya berwarna merah darah gara-gara akar-akar pohon kayu besi. Tidak layak minum. Warga di sana mencari air minum ke hutan-hutan sagu dengan menggali sumur hingga satu meter. Rembesan air dalam lubang galian itu lumayan bersih, sebab ia sudah "disaring" oleh tanah. Itulah air untuk minum, cuci dan mandi.

Tetapi air sungai Kronkel bisa dipakai mandi. Setiap sore saya dan Johny Noya, juga Samuel Wambrauw dan Adri Sadu beradu renang di dekat "dermaga" perahu, persis di samping rumah yang menjadi kantor WVI. Yang saya sebutkan tadi adalah para staf WVI di sana, ketika itu. Kami ceburkan diri, berenang beberapa puluh meter, lalu naik untuk gosok sabun. Lalu ceburkan diri lagi. Nanti badan dibilas memakai air hujan yang ditampung di dalam drum-drum. Tempat kami berenang tadi adalah sekaligus "lapangan terbang" bagi pesawat amfibi dari maskapai MAF. Mereka mendarat dan terbang dari sungai ini.

Persis di depan kantor WVI itulah teronggok "rumah perahu" penginjil Don Ricardson. Ia penginjil angkatan pertama yang melayani di sepanjang Sungai Kronkel. Menginjil di kalangan Suku Sawi. Singgah dari kampung ke kampung memakai rumah perahunya itu.

Tetapi Don susah masuk. Budaya balas dendam, pengkhianatan dan mengayau kepala sudah mengental dalam kehidupan warga di sana, kala itu. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Don berpikir keras, bagaimana caranya agar pesan Injil bisa sampai kepada mereka?

Dalam budaya Sawi ternyata ada kebiasaan, seorang kepala suku memberikan anak kandungnya kepada suku lain yang menjadi lawan, sebagai tanda perdamaian. Atau untuk menghentikan perang. Selama anak itu tetap hidup, perang tak akan terjadi. Ah, ini mirip-mirip dengan konsep "penebusan" dalam agama Kristen. Allah memberikan putra-Nya, Kristus, menderita, mati disalib, dan bangkit kembali. "Jalan masuk" inilah yang dipakai Don Ricardson mewartakan Injil. Don masuk melalui budaya setempat.

Ia kemudian menulis sebuah buku yang sangat fomenal dan masih menjadi bahan perbincangan orang-orang di selatan Papua saat ini: Anak Perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun